Thursday, December 31, 2009

TUNGGU SAYA DI SURGA!! (WIR SEHEN UNS IM HIMMEL)

“Mas, kamu kok rapi sekali, pakai batik segala sama hiasan-hiasannya juga lagi. Kamu mau kemana?” komentar Yasmin sambil bertanya kepada suaminya. “Saya mau istri saya senang sama saya, kamu kan sering bilang sama saya kalau ke masjid jangan pake baju tidur atau baju rumahan. Kalau ke masjid pakai baju yang bagus.“ dengan suaranya yang besar dan logat Jermannya yang kental Timm menjawab rasa penasaran istrinya. “Kamu bilang malu kalau saya datang ke masjid pakai celana pendek atau kaos oblong.” lanjutnya sambil terus menata pakaiannya di depan cermin.

“Loh memangnya kamu mau kemana? Sholat iednya nggak di masjid, tapi di kedutaan. Mau mengantar saya dan anak-anak ke kedutaan?” seru Yasmin. “Nggak usah Mas! “ Yasmin berkata tegas kepada suaminya.”Kamu kan sedang lemas dan sakit, biar saya dan anak-anak berangkat sendiri saja.” Lanjutnya. “Tidak, biar saya antar kamu dan anak-anak. Saya masih bisa!” Timm bersikeras.

Wednesday, December 30, 2009

SEORANG KADET JERMAN DAN SHOLAT

Berdegub jantung Kak Mariha mengetahui berita itu. „Terlambat!“ kata hatinya. „Apakah tidak ada cara lain untuk menghindari ini?“ ia bertanya kepada suaminya, seorang pria Jerman yang menikahinya secara Islam saat berkerja di Indonesia. „Tidak ada“ Jawab Hartmann. „Tapi dulu kenapa bisa?, Apa masih bisa cari cara yang lain?“ ia bertanya lagi memastikan. „Dulu berbeda, sekarang sudah terlambat, surat itu harus segera dijawab“ katanya.

Kak Mariha mengenang kembali peritistiwa beberapa tahun yang lalu tentang putra pertamanya, anak itu berhasil menghindar dari kewajiban itu karena alasan kesehatan demikian juga, putranya yang kedua dengan alasan yang sama. “Dulu aku jauh-jauh pindah dari daerah Timur ke Barat, supaya aku tidak terkena masalah ini” kata Hartmann dengan suara yang sangat mendalam, “dua anak ku sudah bisa tidak ikut tetapi ternyata sekarang malah Ridho yang kena.” lanjutnya dengan senyum miris.


TOKO MASJID, MBAH SURIP, DAN KERUPUK PALEMBANG

„Lumayan juga jualan percobaan hari ini“ pikirku. Memang sehari sebelumnya aku, mbak Indah dan Kak Fairus bertemu tidak sengaja di masjid dan ngobrol panjang lebar hingga sampai ke topik toko masjid.

„Supaya laku kita bawa saja barangnya ke pengajian ibu-ibu besok“ kataku. „Saya akan catat harga barang dan membuatkan listnya“ kata Mbak Indah „Jadi tugas saya besok menyampaikan informasi ke ibu-ibu pengajian ya“ kata Kak Fairus. Begitulah kami-bagi-bagi tugas untuk menolong kelancaran penjualan barang dari toko masjid yang dikomandoi oleh Dias, mahasiswa yang sedang kuliah di Berlin.

Bila tidak didukung oleh ibu-ibu mungkin keberadaan toko di masjid ini akan sulit dikenal masyarakat, karena daya jangkau mahasiswa sejauh dikalangannya sedangkan untuk menyampaikan informasi toko ini kepada masyarakat umum perlu strategi lain. Nah di sinilah pentingnya peran ibu-ibu. Cuma ya risiko nya juga ada, salah satunya, kami jadi bawa tas ke pengajian besok dengan beban lebih dari biasanya. Kebetulan besok acaranya di rumah seorang ibu yang lumayan jauh rumahnya. He he he...jadi inget lagunya Mbah Surip „tak gendong kemana-mana....tak gendong kemana-mana“. Inget juga dong ujung lagunya. „Cuapeekkk !!". "Ha ha ha ...“ tawaku dalam hati. Yaah tidak apalah, Bismillah, namanya juga gotong royong, demi Tegaknya Masjid!.

"MAN LERNT NICHT AUS"

Awalnya karena tidak sengaja Anisyah mengucapkan bahwa suaminya sudah berencana „angeben“ kepada professornya tentang tulisan disertasinya. Tetapi ketika mengucapkan kata angeben tersebut Anisyah merasa sepertinya ada yang salah. Dan benar saja sekilas terbesit di fikirannya kata yang tepat adalah abgeben. Kemudian ia memperbaiki kalimat tadi kepada Mbak Nikmah.

Anisyah mendapati seulas senyum menyungging dibibir Mbak Nikmah yang kemudian dicoba ditahan, tetapi Anisyah sudah terlanjur menangkap ekspresi tadi. Ia yakin benar beliau mencoba menjaga perasaan Anisyah supaya Anisyah tidak malu dihadapannya. Vermutung Anisyah sambil menahan geli di dalam hati.... pasti ada yang aneh bahkan kesalahan fatal dari makna kata tadi.

„Sepertinya suami saya sudah akan abgeben disertasinya ke professor“ kata Anisyah memperbaiki kalimat yang disampaikan sebelumnya. „Oh itu maksudnya“ Mbak Nikmah menyambut kalimat itu. „Pantas tadi saya dengar angeben ternyata abgeben“ katanya menahan ekspresi. „Kenapa cepat-cepat sih, apa nggak bisa di tahan lebih lama?, Atau bekerja disini sekalian?, supaya Anisyah jangan pergi“ lanjutnya. Mbak Nikmah sendiri memang bekerja disini sebagai perawat dan kemudian menikah dengan pria Jerman. „Belum tahu juga kok kapan perginya, setelah abgeben masih harus menunggu jadwal dari profesor kapan bisa verteidigung.“ Jawab Anisyah menjelaskan.

ANTARA SUCI, AIR, DAN CINTA

“Han, sudah mandi belum?” tanya tulisan di Facebook itu. “Belum” jawab Hani dengan jujurnya. “Loh memangnya mandi berapa kali seminggu?’ tanyanya lagi “Ha..ha…ha… tiga kali sehari, tinggal di negara dingin kayak gini,” balas Hani dengan canda, “Tiap Jumat pasti mandi karena hari Jumat Hari Raya Islam, disunnahkan mandi, juga bersih-bersih yang lain seperti memotong kuku, dan memotong ‘rambut khusus’ –untuk yang ini istilahnya memang lucu yaitu rambut-rambut khusus yang tidak terkena matahari- tetapi lebih baik disebut demikian dibandingkan nama aslinya supaya tidak vulgar.” sambung Hani, “Terus kalau mau pergi ya mandi, kalau cuma di rumah ya nggak mandi”. Lanjutnya.

Padahal Hani pergi ke kelas bahasa Senin sampai Rabu, lalu Minggu Hani ke masjid. Praktis Hani tidak mandi cuma hari kamis dan sabtu. Dua hari itupun Hani sering mandi karena akan kedatangan tamu jadi Hani pasti lebih sering mandinya daripada tidak!.

AKU TIDAK TAKUT MATI !!

Banyak cara orang untuk mengakhiri hidupnya. Ambillah contoh Jepang sebagai negara Asia dengan tingkat bunuh diri yang tinggi mulai sejak umur kanak-kanak juga pada umur dewasa. Itulah sebabnya buku yang berjudul “101 Cara Untuk Mati”, laris manis di Jepang. Lain kisah dengan Negara Finlandia, dimana tingkat bunuh diri masyarakatnya juga tinggi yang usut diusut ternyata salah satu sebabnya karena kurangnya cahaya matahari banyak membuat masyarakatnya menjadi depresi dan akhirnya memilih untuk menamatkan hidupnya.

Lain di Jepang, lain di Finlan, lain juga di Berlin. Saya teringat pengalaman menarik sewaktu membeli perlengkapan makan di Al Rasyad. Pemiliknya bisa dikatakan adalah perokok berat karena dia merokok sekitar 1 sampai 2 bungkus per hari. Seorang ibu yang mendampingi saya bertanya padanya, tentunya dalam bahasa Jerman, yang kemudian saya terjemahkan kira-kira seperti berikut ini.

„Apakah anda Herr Rasyad?“ yang ditanya pun menjawab „Ya“ sambil menghisap rokoknya dengan santai dan menjaga wibawa. Si ibu kembali berkata dengan mimik serius seolah sedang mengingatkan „Anda seharusnya tidak merokok, karena merokok tidak baik untuk kesehatan anda!“ sontak Herr Rasyad terdiam sejenak sambil tetap menjaga wibawanya kemudian menjawab dengan nada datar „Apa anda pikir saya tidak tahu itu !!“.

PERTOLONGAN GHOIB

Nun jauh di negeri tanah kelahiran, ibu menatap dunia dengan tatapannya yang terakhir.
Diiringi isak tangis sanak saudara.
Tanpa aku.
Betapa sedih jiwaku, mendengar adik mencarikan orang yang bisa sholat untuk jenazah ibuku.
Orang sudah memasang tarif sebagai pendoa.
Dengan kontrak yang jelas berapa lama dan harganya.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Ditengah kegundahan hati dan kekeluan lidah untuk berkata, Tuhannya ibuku mengirimkan pertolongan yang asing menurut pikirannku.
Atau aku mungkin yang sedang tak mampu berfikir jernih.


Biarkanlah mereka menyolatkan ibumu.
Begitulah suara penyeru yang dikirim dari Tuhannya ibu.
Siapa? Bertanya hatiku yang gundah gulana dan tak menentu.
Mereka? Bagaimana mungkin bisa demikian, amat tidak lazim.
Ibu nun jauh disana sedang mereka ada di negeri ini.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Suara-suara penyeru semakin banyak dan kuat di telingaku.
Aah aku tidak mampu berfikir, Aku tidak mampu banyak berkata, terlalu kelu lidahku.
Terserah saja. Akhirnya aku serahkan pada mereka.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Tuhannya ibuku telah mengirimkan beberapa shaf orang-orang sholat Jum’at yang kemudian melaksanakan sholat ghoib untuk ibuku.
Tak tahu pasti berapa jumlah mereka, karena memang aku tidak pernah datang ke masjid.
Katanya jumlah mereka lebih dari biasanya.
Yang pasti Tuhan ibuku telah menolongnya dengan pertolongan dari jauh,
yang tidak tampak dihadapan manusia di negerinya.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Tak lama berselang, seorang mantan pembesar negara meninggalkan dunia yang fana di tempat asing. Begitu banyak surat resmi dan seruan untuk mensholatinya.
Namun banyak hati yang tak bergeming karenanya.


Tuhan ibuku, tidak mengecewakan hambanya disaat-saat hamba itu membutuhkannya.
Bertanya aku pada diriku.
Tuhannya Ibuku masihkah dia Tuhanku juga?
Aku sudah jarang sholat bahkan hampir tidak lagi.
Aku sudah lupa dionggokan mana kutaruh mukenaku.
Aku sudah lupa kapan terakhir aku datang ke masjid apalagi pergi mengaji.
Aku sudah menduakan Tuhan Ibuku dengan suami, anak-anak dan berbangga-bangga dengan harta. Aku sudah begitu lama meninggalkan Tuhan Ibuku demi membangga-banggakan rumah, mobil, dan status dunia.


Aku ingin Tuhan ibuku adalah Tuhanku juga.
Harap hatiku, kuingin Tuhan nanti menolongku.
Sekarang aku merenungi diri sendiri.
Aku tidak tahu amal apa yang aku bawa sebagai bekal.


PUISI KARYA: Munaya Fauziah, Berlin, 19 Februari 2008, 04:07

MANG BEBEN


Brak!! Pintu itu roboh. Jendela hancur. Dia sedang membuat kerusakan lagi di kampung. Bukan cuma di kampung ini saja dengan kasar dan kekuatannya itu membuat keributan dan kerusakan tetapi juga di kampung lain. Bersama dengan kawan centengnya bisa habis sebuah desa dibabat tanpa mampu melawan.

Tuan Gusti marah besar, karena banyak kuli nya tidak cakap kerja. Kalau sudah begitu, pasti dia kirim centeng-centeng ke kampung untuk sekedar kasih peringatan atau bahkan hukuman. Lebih parah lagi kalau dia kirim centengnya yang paling ditakuti.

„Kenapa dia datang kepada kita Pak?“ Kita tidak punya salah apa-apa, apa dosa kita pak sama Tuan Gusti, sampai dia kirim centeng itu ke kampung ini“ kata Mak Tuo.

„Entah lah “ jawab Pak Tuo hampa, badannya limbung setelah terkena dorongan yang sangat kuat, mencoba berdiri sambil memandangi tokonya yang hancur. Matanya kosong menatap keadaan, bingung hendak kemana. Sedang rumah mereka juga sudah habis dirusak.

Untunglah Pak Tuo masih punya tabungan untuk modal membangun kembali rumah dan tokonya. Tapi bagaimana nasib orang-orang yang mengalami keadaan serupa dengan Pak Tuo tapi tidak punya apa-apa. Mereka hanya bisa meratap dan menangis sambil menahan derita ketakutan kalau hal serupa terulang kembali.