Saturday, January 30, 2010

ZENIA (Bagian 2)

Lima tahun yang lalu terakhir kali ia memandangi rumah itu. Ya! Lima tahun yang lalu ketika ia akan berangkat bekerja ke negara arab. Ia tidak melihat banyak perbedaan di rumah itu. Tidak seperti dirinya yang begitu banyak mengalami perubahan. Zenia bertanya-tanya dalam hati apakah keluarganya masih mengenalinya lagi.

***

Bapak menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil melihat Zenia ada di hadapannya. Dipeluknya Zenia erat-erat, anak yang Bapak sangka sudah mati. Anak yang menjadi harapan dan kebanggaannya. Zenia memuntahkan semua beban yang menghantuinya selama ini, dipelukkan Bapak. Ia bersyukur masih dapat melihat Bapak.

Air mata Zenia meleleh memandangi kedua anaknya. Ia meninggalkan mereka ketika anaknya yang tertua berumur delapan tahun. Keluarganya semua terdiam. Ia memeluk anak-anaknya erat-erat. Anak-anak yang ia sangka tidak akan pernah dilihatnya lagi. Zenia menguatkan hati, bahwa suaminya telah menikah lagi karena menganggap dirinya sudah mati di negera arab.

Friday, January 29, 2010

KARENA SALAM

„Assalamu’alaikum“ sapa Stefan memberi salam. „Halo“ jawab Febian menyambut salam Stefan. Rasanya asing bagi Febian dengan kalimat sapaan dari Stefan itu. Tapi ia sesekali mendengar Ibunya atau ayahnya mengucapkan kalimat itu bila bertemu dengan sesama orang Indonesia di Berlin. „Apa khabar?“ Tanya Stefan lebih lanjut. „Baik“ katanya. Mereka berpapasan di jalan dekat rumah masing-masing. Setelah saling menyapa mereka berpisah. Stefan adalah seorang anak campuran. Ibunya dari Indonesia sedang ayahnya Jerman. Ia sekarang kelas 10 di sekolahnya setara dengan kelas 1 SMU di Indonesia. Febian seorang anak Indonesia asli. Ayah dan ibunya berasal dari Indonesia. Febian dua tahun lebih muda dari Stefan. Kedua remaja itu lahir di Berlin dan besar di sana.

***

“Mama tadi saya bertemu dengan Febian di jalan.” Cerita Stefan pada mamanya. “Febian siapa?” Tanya Mamanya “Apa Febian anak Bu Tati?” Mamanya ingin memastikan. “Febian yang rumahnya di situ loh Ma!” kata Stefan. “Iya benar Febian anak Bu Tati.“ Sambut Mamanya.

***

Beberapa hari kemudian Stefan bertemu lagi dengan Febian. Seperti biasa Stefan memberi salam lebih dulu. „Assalamu’alaikum“ sapa Stefan. „Halo“ sambut Febian, rasanya Febian ingin sekali menjawab salam dari Stefan dengan cara yang sama, tapi lidahnya terasa kaku. Mereka kemudian sedikit berbincang dan kemudian berpisah.

Monday, January 25, 2010

IKA AND FRIED CHICKEN

Little Ika smiled happy. She brought gifts for Mom a piece of paper from her teacher at Al Falah Mosque. "Mom, here it is!" she said proudly as she handed the sheet. "What is this Ika?" Mom asked, smiling receiving the sheet. "Teacher says it is for you Mom", she said, clinging spoiled while explain it briefly to Mom. She was not yet good at reading. Ika was satisfied that she had conveyed the sheet as her teacher asked. Mom was reading the contents of the paper seriously and saved it.

***

"Mom, please buy chicken meat!" Ika asked reminded her mother. "Yes," Mom replied curtly. Ika wanted to eat fried chicken made by Mom tonight. She cannot resist to pictured it. Mom was the only person who could make the best fried chicken. Ika's tongue move slowly. Her saliva was ready assembled to accompany the warmly fried chicken.

This afternoon Ika would go shopping. "Come Ika! Are you ready?" asked Mom to make sure. Usually they were always together. "Daddy, also wanted to buy something," said Daddy. "Oh, Daddy also wants to go to the shop, let's go!" Mom cried. Ika overjoyed that she could go with Daddy and Mom. "May be Mom are going to these store; Penny, Lidl, Aldi or Netto," thought Ika. The shops were stores that generally exists in Berlin. "Where are we shopping, Ma?" Ika asked curiously. "We have to go to Penny first, there are Turkey's shop nearby, Euro Gida," said Mom decided.

IKA DAN AYAM GORENG

Ika kecil tersenyum senang. Ia membawa oleh-oleh untuk mama selembar kertas dari guru TPA di Masjid Al Falah. "Mama, ini!" katanya bangga sambil menyerahkan lembar itu. "Apa ini Ika?" tanya mama tersenyum menerima lembaran itu. "Bu Guru bilang ini untuk mama", katanya sambil bergayut manja menjelaskan singkat pada mama. Ia memang belum pandai membaca. Ika merasa puas sudah menyampaikan lembar itu seperti yang gurunya minta. Mama tampak membaca-baca isi kertas itu dengan serius kemudian menyimpannya.

***

"Mama, nanti beli daging ayam ya Ma!" pesan Ika mengingatkan. "Iya," jawab mama pendek. Ika ingin makan ayam goreng kentucky buatan mama malam ini. Terbayang kelezatan rasanya. Cuma mama yang paling pandai membuat ayam goreng itu. Lidahnya mengecap. Air liurnya sudah siap berkumpul menemani kehangatan ayam goreng itu.

Sore ini Ika akan pergi berbelanja. "Ayo Ika! Sudah siap?" tanya mama memastikan. Biasanya memang mereka selalu berdua. "Papa, juga ingin membeli sesuatu," kata Papa. "Oh, Papa juga mau berbelanja, ayo kita sudah mau berangkat!" seru mama. Ika senang sekali karena ia bisa pergi bersama papa dan mama. "Mungkin mama akan ke toko Penny, Lidl, Aldi atau Netto," pikir Ika. Toko-toko itu adalah toko yang umumnya ada di Berlin. "Mama kita belanja ke mana Ma?" tanya Ika ingin tahu. "Kita ke Penny saja, di dekatnya ada toko Turki, Euro Gida," jawab mama memutuskan.

TWO BROTHERS

"Fikri, where's Fatih?" Mama asked. Mama felt weird that she had not seen his eldest son since Maghrib. "He's in the room," answered the questioned. "What's he doing? Why didn't he come out!" She inquired further. " I don't know," said Fikri flat.

This was a few days Mama felt something strange with Fatih's behaviour. Mama wanted to know what he was doing in the room. As a mother she wanted to make sure what change happened to the child. Fatih already entered the age of "teenee" alias teenagers. But Mama had to be careful also not be any in the room. Mama understood and wanted to keep his son's feelings.

***

"Fikri, where's Fatih?" Mama asked, that night. Fikri just walk out of the room and felt that Mama asked too frequently. He began to change his attitudes. " Mama, why don't you see him yourself in the room?," Said Fikri lightly. Mama was so curious. She peeped into her son's room through the door that is not so closed enaugh. "Haah! I can't see through!" Mama whispered angrily to herself. Fatih position was closed to the computer on the table. Mama just caught sight of a half Fatih's body and legs lying on his bed.

Saturday, January 16, 2010

DUA KAKAK BERADIK

"Fikri, mana Fatih?" tanya Mama. Mama heran sejak maghrib tadi tidak melihat putra sulungnya. "Di kamar," jawab yang ditanya. "Sedang apa dia? Kok tidak keluar-keluar!" selidik Mama lanjut. "Tidak tahu," jawab Fikri datar.

Sudah beberapa hari ini Mama merasa ada sesuatu yang aneh dengan perilaku Fatih. Mama ingin sekali tahu apa yang dilakukan anaknya di dalam kamar. Sebagai seorang ibu ia ingin memastikan perubahan apa yang terjadi dengan anak itu. Fatih sudah masuk umur "teenee" alias remaja. Tetapi Mama harus hati-hati juga tidak bisa sembarang masuk ke kamar. Mama mengerti dan ingin menjaga perasaan putranya.

***

"Fikri, mana Fatih?" tanya Mama malam itu. Fikri yang baru keluar kamar merasa Mama terlalu sering bertanya. Ia mulai merubah sikap. "Mama lihat saja deh sendiri di kamar?," jawab Fikri ringan. Mama sangat penasaran. Ia mengintip ke dalam kamar putranya melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat. "Haah! Tidak jelas!" Bisik mama gusar dalam hati. Posisi Fatih memang tertutup sebagian meja komputer. Mama cuma menangkap sosok Fatih yang separuh badan dan kaki berada di atas tempat tidur.

Friday, January 1, 2010

ZENIA TKW DARI LABUAN BATU

Bola matanya yang hitam dengan bulu mata asli yang lentik memandangi pohon-pohon yang seolah-olah berlari kearahnya menjemput hatinya...Indahnya langit seakan menceritakan keindahan perasaan jiwanya saat itu. Duduk mendampinginya di atas ICE (Inter Continent Express) seseorang yang akan menjadi teman mengarungi hidup selamanya. Terasa lama perjalanan empat jam itu. Ia ingin segera sampai di Berlin!.
***
Berkerudung putih sederhana, berbaju ungu senada dengan roknya duduk bersama jemaah lain di ruang Masjid Al Falah. Ia sedang menyaksikan Herbert Rahni sedang mengucapkan dua kalimat syahadah (Glaube Erkennist). Pria Jerman itu menyatakan dirinya masuk Islam di Masjid Al Falah ini di Berlin.


Mengingat perjalanannya yang panjang dan melelahkan menjadi tiada artinya ketika akhirnya ia menatap pria itu mengucapkan syahadah di sini. Di hadapannya dan juga dihadapan jemaah masjid yang hadir saat itu.