Wednesday, April 21, 2010

SETIA

PERJALANAN SETIA

"Bagaimana? Bisa tidak, datang?" tanya Mba Helwah, ia contact personku. Aku mengenalnya dari kawan yang tinggal di Wina, Austria. Demikian juga ia mengenalku. "Minggu ke tiga April kan?" tanya ku. "Iya," katanya. "Insya Allah, doakan saja saya sehat," kataku. "Sepertinya saya akan bawa rombongan. Kawan-kawan di sini mungkin mau ikut," sambungku.

***

"Siapa yang mau ikut ke Hamburg?" tanyaku. "Hah! Kita mau jalan-jalan ke Hamburg? Kapan?" tanya Kak Nena semangat. "Minggu ketiga" jawabku. "Kita bisa naik WET (Schoenes Wochenende Ticket), harganya 37 euro untuk 5 orang," lanjutku. Mereka bereaksi seru dan ramai. Sebagian bersemangat dan langsung membicarakan rencana mereka di Hamburg. "Kalau mau jalan-jalan silahkan saja, nanti ibu-ibu bisa jalan-jalan sedangkan saya, minta maaf, nggak ikut jalan-jalannya, saya ada undangan," uraiku lanjut. "Wah nggak enak dong! Kita kan maunya jalan-jalan sama kamu juga," seru Kak Nena.

Dari kalimatnya, mudah-mudahan tidak membuat aku ge er, aku bisa menangkap bahwa, ibu yang satu itu cukup sayang padaku. Hingga tidak mau aku hilang atau tidak ada dalam keceriaan di antara mereka. "Hahaha... jangan-jangan aku ge er..." senyum-senyum aku geli dalam hati.


***

Aku ditelepon seseorang lagi namanya mba Yanti, ia adalah pengelola situs masakan dan kuliner "Dapur Hamburg" yang cukup bekannt di dunia maya. "Mba kalau bisa datangnya jangan bawa rombongan banyak-banyak ya," pintanya. "Kebetulan rumah yang akan di tempati agak kecil." jelasnya. "Oh, jadi berapa orang di sana yang akan berkumpul?" tanyaku. "Sekitar 15 orang," jawabnya. "Tidak banyak," seruku dalam hati. "Ya kemungkinan hanya 2 atau tiga orang yang ikut," kataku padanya. "Atau mungkin aku berangkat sendiri saja," seru suara hati kecilku.

***

"Jadi siapa yang mau ikut, berangkat jam 4:26 pagi dari Hauptbahnhof pulang, sampai Hauptbahnhof jam 9:00 malam?" tanyaku. Agak hening. "Wajar," pikirku "Mana ada yang mau ikut pagi buta, keluar dari rumah meninggalkan kasur empuk dan kamar yang hangat, jika tidak dengan niat yang kuat!!" suara hatiku bersulam senyum.

"Saya tidak jadi ikut! Pulangnya terlalu malam," kata bu Endang. "Kalau kita pergi hari lain saja ke sana bagaimana? Jadi seharian untuk jalan-jalan. Tidak usah ada undangan." Kata Kak Nena. "Kalau mau ketemu dengan ibu-ibu di sana ya kita sama-sama, jalan-jalan saja" sambungnya. "Oh kalau begitu bulan Juni saja, karena akan ada kawan kita yang suaminya pindah tugas ke sana jadi bisa sekalian silaturahim, berkunjung, di jamu dan jalan-jalan sekaligus," usul Uni Inan.

"Gute Idee!!" pikirku senang. Aku menunjukkan jempolku pada Uni Inan. Itu tanda aku mengapresiasi idenya. Ia tersenyum-senyum sembari pandangannya menyambut jempolku.

Kesimpulan sudah jelas. Pada umumnya semua setuju untuk pergi ke sana. Hanya beda niat saja!. Untuk jalan-jalan, so pasti dengan suara bulat, setuju!. Tetapi tidak--maksudnya--belum siap kalau untuk undangan majlis ta'lim. Penilaiannya ukuran normal saja. Mereka sudah minimal seminggu sekali mendapat santapan ruhani yang juga berkualitas di Berlin belum di tambah pengajian bulanan. Kasihan juga, mereka harus meninggalkan anak-anaknya, sementara di Berlin seratus--satu--yang punya pembantu atau anggota keluarga lain di luar keluarga inti yang bisa dimintai bantuan. Kalau belum disiapkan dengan sempurna kebutuhan anak-anak dan suami selama ditinggal bepergian, tidak akan tenang juga perjalanannya.

***

"Apaan sih? Masa malam-malam begitu berangkatnya?! Apa tidak ada yang lebih siang?" seru Mas, gusar ditingkahi gambaran wajah yang dilipat-lipat. "Sudahlah tidak usah banyak komentar! Nanti di jalan juga terang!" kataku tegas. Paham dan sudah jelas arah maksudnya. Ia langsung terdiam.

Dia tidak bisa ikut. Ada acara penting yang juga harus dihadiri olehnya. Semua sibuk masing-masing dengan urusannya.

Jadwal kereta bukan wewenang aku untuk mengaturnya. Kebetulan saja undangan ini sudah aku jawab sebulan sebelumnya dengan catatan kalau aku sehat. Dan sekarang aku sehat. Jadwal kereta ke Hamburg dengan RE memang ada tiga waktu yang bergilir. Jam 7.30, jam 6, dan jam 4:26. Untuk hari minggu esok kebetulan jadwal yang aku dapatkan adalah jam 4:26 pagi. Tidak bisa lagi yang lebih siang dari itu.

Sempat mengganggu perasaanku rasa keberatan Mas. Melintas-lintas beberapa kali dalam pikiran. Terlalu pagi bahkan bisa disebut malam menurutnya. Dia protes berat!!.

Kemudian terbayang puisi almarhum Si Burung Merak, WS. Rendra yang beberapa waktu lalu sempat kubaca ketika blog walking. Dua baris kalimat dalam bait puisi itu berbunyi: "Jika langit dan bumi sudah bersatu, semuanya sama saja." Tiba-tiba hatiku membulat. Ya! Sama saja!. Malam bernaung selimut tebal musim semi. Atau siang dengan kehangatan matahari. Sama saja!

***
Praktis malam itu aku tidak bisa tidur pulas, khawatir terlambat bangun dan tertinggal kereta.

***

Pagi seperti dinaungi payung hitam. Mas mengantarku. Kami berjalan dalam sepi. Tiba-tiba, mas berbelok dan agak sedikit mendorongku ke samping jalan. Rupanya di depan kami ada seorang laki-laki tua mabuk dengan kaki bergetar keras, sangat-sangat keras sehingga jelas terlihat getaran kakinya dengan posisi badan membungkuk. Aku tidak memperhatikan sebelumnya. Laki-laki tua mabuk itu tidak bisa berjalan, terus membungkuk dengan tangan menjuntai ke bawah dan kaki yang terus bergetar hingga kami melaluinya dan menjauh. Entahlah sudah berapa lama ia dalam posisi itu. Yang jelas suara dengus nafasnya atau suara erangannya yang besar menodai heningnya pagi.

Kami harus bergegas. Kami berjalan terus sekitar dua puluh menit sampai di stasiun Turmstrasse dan menunggu Bus N40. Bus malam.

Sampai Hauptbahnhof jam 4:10.

Aku minta doa suamiku agar dalam perjalanan berangkat dan pulang sampai rumah bisa dengan selamat. Aku harus mendapat ridhonya, kalau tidak percuma saja nilai keberangkatanku ini. Aku mau menyentuh tangannya. Ia mengingatkan kalau sudah wudhu, demikian juga aku. Memang pagi ini sholat subuh jam 4:16.

Kemudian kami berpisah. "Assalamu'alaikum," seruku dengan suara yang khas. Tegar memasuki gerbong RE richtung Rostock.

Ini perjalananku ke luar kota pertama seorang diri dan langsung dengan jarak tempuh yang sangat jauh. Jadwal kereta yang memakan waktu lama. Lima jam perjalanan berangkat dan empat jam perjalanan pulang masing-masing dengan sekali umsteigen hingga Hamburg Haupbahnhof. Kemudian masih harus umsteigen lagi dan melanjutkan perjalanan dengan S Bahn, S3, hingga Neuwidental. Semua jadwal perjalanan hari Minggu 18 April 2010 ke Hamburg hin und züruck sudah aku print dan kusiapkan dengan baik.

Kursi tunggal sebelah kanan aku pilih di tingkat atas kereta. Di sebelahnya menempel kursi untuk anak kecil. Bisa untuk menaruh tas. Dekat jendela.

Mas terlihat menunggu, matanya mencari-cari bayanganku di tingkat bawah kereta di antara para penumpang yang naik. Aku melambaikan tangan memberi kode. Pandangannya menangkap lambaian itu. Miris juga rasa di hati. Ia menemani dari luar RE agak lama. Kurasa ia cukup sedih atau sedikit cemas, mungkin mas ingin ikut menemani dalam perjalanan tetapi tidak punya pilihan untuk itu. Ku lihat kemudian badannya berbalik ke arah lift. Berlalu.

***

Kereta sebentar lagi berangkat. Mas sudah pergi. Sendiri...Tidak! Aku tidak sendiri, walaupun secara fisik aku sendiri, ada Allah bersamaku, Allahu ma'ana. Allah Ta'ala yang paling setia. Tuhanku, Engkau yang paling setia melindungi.

Jadi teringat Sabtu sore persis hari yang kemarin, mendoakan almarhumah, seorang perempuan diplomat muda, yang disayang Allah ta'ala. Ia dipanggil lebih dahulu dari kita semua di hari Jumat waktu dhuha. Setelah berjuang selama sekitar dua tahun berperang melawan kanker payudara. Di antara kalimat doa itu terpatri di hatiku. Allah Subhanahuwata'ala yang paling setia. Saat semua pergi meninggalkan maka Allah yang paling setia.

Sendiri membuat aku banyak merenung. Abu Darda r.a. juga sendiri. Tapi apalah aku dibanding sahabat Rasulullah SAW yang setia itu. Abu Darda memang sendiri tetapi ia tetap setia. Sedangkan aku, cuma perempuan akhir jaman. Namun setidaknya aku punya Geheimwaffe. Ya!! Aku punya senjata rahasia. Doa adalah senjata rahasia orang beriman.

"Ya Rob, tolong kirimkan orang-orang ke sekitarku supaya hatiku merasa nyaman dan perjalananku menjadi menyenangkan," bisik sang batin. Tidak seberapa lama berselang beberapa penumpang lain memasuki gerbong yang sama. Tiga orang pemuda Turki dan Arab dengan suara khasnya duduk di ujung depan. Enam orang remaja Jerman bercanda dengan lantang dan gembira duduk di kanan dan belakang. Dua pasang dewasa muda yang juga berkulit putih duduk di kursi depanku dan bau alkoholnya menyeruak ke hidung. Pening dengan bau alkohol itu. Tetapi kursinya sudah terlalu nyaman memelukku, jadi tak ingin berpindah.

***

Kereta bergerak. Aku bersiap sholat subuh sambil duduk di atas kereta yang berjalan. Tetap menegakkan sholat dalam setiap perjalanan adalah tanda setia.

Perjalanan berangkat sangat menyenangkan. Hatiku serasa meluas dan ringan. Die sonnenaufgang sangat indah dilapisi hamparan kabut putih yang tebal dengan semarak rona merah jingga yang melatari dan barisan pohon-pohon yang sudah banyak berdaun hijau sementara sebagiannya masih berupa batang dan ranting menunggu daun musim seminya muncul. Mirip seperti gambar pembuluh dua belahan paru-paru manusia yang dijajarkan. Pagi yang cerah, udara yang segar dan tanpa beban!.

Sayang tidak bisa ku abadikan lukisan Tuhan itu sebanyak-banyaknya melalui handy. Khawatir kehabisan baterai saat aku benar-benar membutuhkannya. Perlu komunikasi dengan contact personku melalui handy saat di stasiun Neuwidental nanti.

***

Dua jam lebih berlalu, tiba saat umsteigen. Sampai di Schwerin stasiun persinggahan. Jam 6:10, matahari sudah menyapa jejak kaki di lantai stasiun persis keluar pintu kereta. Masya Allah! Angin paginya menggigilkan badan. Bersyukur stasiunnya menyediakan ruang kaca tertutup untuk mengurangi dinginnya pagi. Tidak semua stasiun memiliki fasilitas ini. Harus menunggu satu jam lebih menanti kereta berikutnya dengan richtung Hamburg Hauptbahnhof.

Aku memilih untuk menghangatkan diri di lantai bawah stasiun menuruni dua tingkatan tangga cukup tinggi. Sekaligus melihat apakah ada kamar kecil yang nyaman. Haha... senang! Ada kamar kecil tetapi agak berbeda desainnya. Untuk masuk ke ruangan besar yang berisi banyak kamar kecil, harus memasukkan koin sejumlah 50 cent euro ke mesin tertentu sehingga pintu kaca transparannya bisa terbuka otomatis. Kebetulan aku punya Muenzen alias kleingeld.

Bersih dan rapi kamar kecil itu. Seorang nenek sedang menghadap ke mesin koin ketika mengetahui aku akan keluar dari pintu masuk yang transparan, ia tidak jadi memasukan koin. Nenek itu memutuskan untuk menunggu aku keluar sehingga begitu pintu otomatis terbuka ia bisa juga ikut masuk otomatis tanpa membayar uang masuk ke mesin koin. "Hahaha...usaha juga nenek itu rupanya," batinku berseru ditingkahi senyum. Aku juga tidak ingin mengecewakannya dengan berlama-lama di dalam, meskipun di dalam ruangan itu lebih wangi dan lebih hangat. Siapa tahu nenek itu sudah kebelet. "Ach... ich bin Glueck," katanya gembira begitu aku keluar pintu. Ia segera masuk melalui pintu kaca itu.

Tiga pemuda Turki dan Arab itu juga turun di stasiun Schwerin rupanya mereka juga akan ke Hamburg. Suara tawa mereka mengusir sepi pagi di stasiun Schwerin. Bincang dan canda mereka yang menggunakan bahasa Arab bercampur Deutsch menjadi hiburan di telingaku. Hampir selalu di antara kalimat mereka menyebut "wa Allah" (Demi Allah). Bukan karena mereka sedang berdzikir khusus pagi hari untuk mengingat Allah Subhanahuwata'ala. Tetapi dalam bahasa keseharian mereka memang satu sama lain meminta, menyebut, menerangkan atau berjual beli seringkali menyebut "wa Allah."

Aku mengambil buku bacaan. Mengisi waktu luang. Ahh..betapa setianya sebuah buku menjadi guru. Dia mau mengikuti aku, muridnya, meskipun dalam perjalanan jauh. Buku adalah guru yang paling sabar dan setia. Tidak pernah mencela dan mengeluh. Selalu melimpahkan ilmu jika kita mau membacanya dan rajin menasehati. Bahkan sampai lembarannya menguning dan rapuh, tetap tidak mengeluh bila muridnya lupa. Betapa ikhlasnya sebuah buku. Apakah aku bisa setia dan ikhlas pada muridku seperti sebuah buku? Bila demikian tentulah tidak akan mengeluh apalagi mencela.

Seorang perempuan Jerman berusia tiga perempat baya mengawasiku dari seberang Gleis kereta. Pakaiannya nampak 'chic'. Mungkin ia heran melihat penampilanku. Bukan Turki juga bukan Arab tetapi memakai kopftuch dan membaca buku sambil menungu kereta. Aku lanjutkan membaca.

***

Semakin lama, semakin bertambah passagier (penumpang) yang berdatangan. Kereta menuju Hamburg datang. Aku memilih posisi kursi yang sama seperti di kereta yang sebelumnya. Kali ini perjalanan dihiasi dengan mata terpejam hingga beberapa menit menjelang Hamburg Hauptbahnhof. Rasanya ingin tampak segar sampai di Hamburg.

Sampai Hamburg Hauptbahnhof aku mencari S3 richtung Neugraben, atau Stade atau Buchstehude, ketiga-tiganya melewati stasiun akhir tujuan di Hamburg yaitu stasiun Neuwidental. Di sana contact person akan menunggu setelah handyku menjangkaunya dari atas SBahn. Kemudian masih dilanjutkan dengan bus menuju rumah dimana ibu-ibu majlis ta'lim berkumpul.

Acara kajian hari ini berlangsung seru dan menyenangkan. Hadir sekitar 25 orang, mungkin lebih. Mereka menginginkan aku untuk bisa mengisi kajian lagi. Tetapi bagiku jadwal itu sulit untuk dipenuhi. Untuk hadir di sana saat itu saja sudah dengan terpaksa menunda majlis ta'lim yang lain di Berlin. Aku hanya tersenyum dengan permintaan mereka.

***

Hingga tiba saatnya pulang. Aku kembali naik bus melewati tunnel beserta tiga orang ibu. Dua orang ibu, rumahnya berada searah dengan perjalanan ke Hauptbahnhof dan seorang lagi akan berangkat bekerja setelah mengikuti majlis ta'lim. Ibu yang terakhir meniatkan dirinya untuk mengantar aku hingga Hauptbahnhof sebelum menuju ke tempat kerjanya di tempat praxis. Ia khawatir aku terlambat mencapai kereta pulang ke Berlin, maka perlu pengawalan supaya agak cepat.

Setelah sampai Hamburg Hauptbahnhof masih ada waktu sekitar 15 menit lagi sebelum RE ke Rostock datang dan aku harus umsteigen kembali di Schwerin menuju Berlin. Aku mempersilahkan ibu Ratna, begitu panggilannya, jikalau harus segera pergi ke tempat praxis. Kalimatnya yang meluncur dari bibirnya sederhana, "Ini amanah saya, mengantar ibu sampai naik kereta." Aku berterima kasih padanya. Ia bertahan untuk tetap setia menungguiku hingga kereta bergerak berangkat. Bu Ratna setia kepada amanahnya hingga selesai. Subhanallah.

***

Selamat sampai di rumah. Jam 21:00 CET. Aku melihat Mas menyambutku. Wajahnya pancaran hatinya, seperti biasa mudah terbaca. Aku yakin suamiku setia pada Allah Subhanahuwata'ala. Maka Allah Subhanahuwata'ala menjagaku dengan setia hingga tiba kembali ke rumah.


Cerpen karya Munaya Fauziah, Berlin 22 April 2010, 00:04 CET

9 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Hooo..Mba Naya,,aku jadi ikutan dag dig dug, baca Mba Naya pergi sendirian gitu. Ckckckck -_- Hamburg itu sejauh apa dari Berlin Mba? kayak dari Jakarta kemana?

    Wooaaa, Mba Naya, sibuk bener siy,, lalu-lalu, hasil foto2 disana mana Mba? hehee.. jalan2 kmana aja?

    Btw, itu puisinya WS Rendra yang "Jika langit dan bumi sudah bersatu, semuanya sama saja.",, klo gak salah puisi terakhirnya dia sblm wafat ya, Mba?

    ReplyDelete
  3. Hamburg sekitar 300 km lebih dari Berlin. Saya lihat di sini: http://www.scribd.com/doc/6483655/Daftar-Jarak-Antar-Kota, kira-kira jarak antara Jakarta dan Tegal.

    Foto-foto di masukin lembaga sensor dulu Lydia he3x...

    Saya malah tahu dari kamu, kalau itu puisi terakhir sebelum wafat. Masya Allah :)

    ReplyDelete
  4. wow edisi petualangan mba Munaya..:D

    ReplyDelete
  5. Wah, lumayan jauh juga,Mba Naya. Wohoohoo,, Jadi penasaran niy liat foto2nya, pke dimasukin ke lembaga sensor dlu siy :D

    Mba Naya, aq tau itu puisi terakhirnya WS Rendra dari email forward sepupu. Tapi stelah googling, ternyata eh ternyata, bukan, Heheee..maafkan.

    Mba Naya,Pernah baca puisi yg judulnya "Titipan" gak?
    Masa aq baca di blogger, itu bukan karyanya WS Rendra,tapi karyanya pak Pranoto. Si penulis menyertakan bait "Jika langit dan bumi sudah bersatu, semuanya sama saja." (karyanya WS Rendra) di bagian terakhir puisinya. Jadi orang2 mengira, puisi itu karya WS Rendra..Hmmmm..
    source : http://herbudiarto.multiply.com/journal/item/153

    ReplyDelete
  6. Saya baca dari sini http://titoprabowo.com/lembar/puisi/87-renungan-indah.html
    Judul pusinya :

    Renungan Indah Karya W.S. Rendra

    Seringkali aku berkata,
    ketika semua orang memuji milikku,
    Bahwa sesungguhnya ini
    hanyalah titipan.

    Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya.
    Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya.
    Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya.
    Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.
    Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku?


    Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
    Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?

    Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
    Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

    Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
    kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
    kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

    Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.

    Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
    Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

    Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.

    Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.

    April 24, 2010 7:00 AM

    ternyata sy yang mengutip kalimatnya rada beda he3x...

    ReplyDelete
  7. waduh Lydia, sebagai awam dalam bidang per puisi-an jadi aneh nih, mungkin ini aslinya puisi Pak Pranoto ya, terus ditambahin sebaris kata dari WS Rendra.

    ReplyDelete
  8. Nunu, sy pernah tulis cerita yang pergi ke Hannover terus pulangnya kena Orkan juga, bisa aja kamu he3x...mba Munaya berpetualang...he3x... kayaknya asyik...

    ReplyDelete
  9. Iya Mba Naya,,hehehe
    Kasian juga ya penulis aslinya.
    Jadi bingung,,tuing tuing tuing,,

    Mba Naya,paragraf terakhir di cerita Mba, so sweet.. :D

    ReplyDelete