Friday, April 30, 2010

PILIHLAH!!

PILIHLAH CINTA YANG MEMBAWA SAMPAI KE SURGA

Wajahnya tampak serius menampakkan kecamuk perang di pikirannya. Adiva merenung. Kalimat-kalimat itu begitu tajam mengiris-iris hati. Memang benar! Apa yang disampaikannya tidak ada yang salah. Selama ini, memang ia merasa yang telah salah karena telah membiarkannya begitu saja seperti alir yang mengalir.

"Anak-anak seumur itu tidak usah banyak diatur untuk masalah ini, biar saja mereka yang menentukan jikalau mereka dewasa, saat mereka sudah bisa berpikir secara matang," begitu argumen mereka. "Sekarang biarkan saja mereka bermain dulu, itu dunianya sekarang, dunia bermain, mereka masih terlalu kecil untuk memahami segala sesuatunya, masih belum sampai cara berfikir seperti ini untuk mereka," begitu alasan mereka dulu. Dan itulah juga yang dahulu ia yakini karena dulu ia sangat percaya kepada suami, keluarga dari suaminya dan kawan-kawannya. Tetapi ternyata itu tidak seutuhnya benar.

***
Di pengajian Selasa itu, pikiran Adiva terus mengulang-ulang apa yang ia dengar. Mungkin gambaran kegelisahan hatinya yang selama ini yang ia tutupi. Surat Abasa ayat 34-36, itulah yang terngiang-ngiang ditelinganya. Kalimat tajam itu mendesak-desak jantung hati Adiva. Ia menghela nafas panjang.

"Di akhirat nanti akan ada seorang istri yang akan lari bersembunyi khawatir bertemu dengan suaminya. Ada juga seorang ibu yang takut dan bersembunyi dari pencarian anak-anaknya. Sementara suami mencari istrinya dan dan anak-anak mencari ibunya itu. Ada seseorang yang lari dari sahabat-sahabatnya, ketika sahabat-sahabatnya mencari-cari dirinya. Padahal tempat mereka di akhirat itu tidak jauh satu sama lainnya tetapi ia menghindar bertemu mungkin dengan sahabatnya, atau menghindari saudaranya atau menghindar dari anak-anaknya bahkan lari sembunyi dari suaminya," kata-kata ustadzah menjelaskan surat itu terpatri di relung jiwa Adiva.

"Demikian juga suami dan anak-anak. Di akhirat nanti ada yang menghindar atau lari bersembunyi dari sahabat, dari istri, dan juga sembunyi dari orang tuanya," demikian uraian Ustadzah itu menyapa hati Adiva.

"Seorang istri bersembunyi karena takut menghadapi tuntutan dari anak dan suaminya karena tidak mendapatkan haknya, tidak diajarkan dengan benar tentang agamanya. Suami dan anak adalah tanggung jawab ibu untuk mendidik mereka. Seorang anak bersembunyi dari orang tuanya karena telah berbuat maksiat dan durhaka. Seseorang bersembunyi dari sahabatnya karena berbuat jahat dan menistai sahabatnya," keras suara itu terdengar di dalam hati.

"Mengapa bisa begini?" Adiva mempertanyakan kembali dalam hati kecilnya, tentang suami dan anaknya kepada dirinya sendiri.

***

Adiva memikirkan ulang apa yang selama ini telah ia lakukan. "Sekarang bagaimana aku memperbaikinya?" tanyanya dalam hati. Kalimat-kalimat itu benar-benar membuka tirai mata hatinya.

Ustadzah itu juga menyampaikan sebuah kisah. Ada seorang ibu di kota lain menderita sakit kanker dalam usia yang belum terlalu lanjut. Ia menangis menyesal. Tangisannya bukan karena ia belum cukup mendapat nikmat hidup. Kalimat dalam tangisannya adalah, "Saya belum mengajarkan agama kepada suami saya dengan benar!" Itulah tangisan penyesalan. Sementara masa bahagia dan cinta sudah dilalui di dunia dan hampir berakhir.

Suami dan anak-anak adalah amanah. Dan ibu itu menyadarinya kelalaiannya selama masa-masa bahagia dulu. Apa yang sudah dilakukannya untuk akhirat mereka? Apakah masa bahagia dan cinta itu bisa di bawa sampai akhirat? Ataukah cinta dan bahagia hanya sebatas ukuran dunia? Cinta hanya sebatas dunia, berarti hanya cinta materi saja. Apakah cuma sependek dunia itu niat cintanya?

Ibu itu tentu saja sangat menyayangi suaminya yang bule Jerman dan anak-anaknya. Ia ingin membawa cintanya kepada suami dan anak-anaknya sampai ke akhirat. Ia tidak ingin cinta hanya di dunia... begitulah yang sebenarnya dan seharusnya.

Maka hatinya pun menangis menyesali kelalaiannya. Dan ia sampaikan kalimat itu kepada orang-orang yang menengoknya, tanda ia menyesalinya dan sekaligus sebagai peringatan kepada orang-orang yang saling mencintai agar berusaha sungguh-sungguh dengan tanggung jawab titipan ilahi itu. Yaitu suami ataupun istri dan anak-anak bahkan juga cucu. Bawalah bersama-sama cinta itu sampai menghadap sang ilahi.

"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (At Thur (52): 21)

***

"Aku cinta kepada suamiku dengan tulus," bisik Adiva dalam hatinya. "Aku juga cinta anak-anakku," sedih batinnya menyeru. Tetapi sekarang ini sepertinya semua sudah terlampau terlambat. Benar! Mereka sudah dewasa sekarang. Mereka sudah bisa memilih.

Anak-anakku memilih pilihan dari pilihan kawannya. Mengapa? Padahal aku ibunya!. Itu salahku karena aku tidak pernah berusaha untuk menjelaskan pilihan agamaku, sejak awal. Anak-anakku memilih pilihan sahabatnya! Mengapa? Bukankah seharusnya aku sahabat terbaik anakku. Itu salahku karena aku tidak pernah menjelaskan pilihanku kepada mereka sebagai seorang sahabat. Bahkan aku tidak pernah sekalipun berani menjelaskannya.

Anak-anakku memilih pilihan lingkungannya. Mengapa? Padahal akulah ibunya yang ada dalam lingkungan sehari-harinya di rumah!. Itu salahku karena aku tidak pernah mengelilingi mereka dengan kebiasaan-kebiasaan ber-Islam untuk keseharian mereka di rumah. Aku yang salah karena terlalu membiarkan dan mendiamkan saja.

Maka ketika saat mereka memilih A, B, C dan D. Pilihan dariku tidak ada dalam urutan itu karena tidak ada sekalipun aku pernah menyodorkan pilihanku pada mereka dengan sungguh-sungguh. Sedangkan kawannya, sahabatnya, guru sekolahnya, lingkungan bermainnya semua memberi pilihan dengan ajakan yang sungguh-sungguh.

Adiva terus merasa bersalah akan kelemahan dirinya yang tidak bersungguh-sungguh mengajarkan agama kepada anak dan suaminya.

***

"Sekarang baru aku tahu. Bahwa aku telah tertipu!" Seru Adiva dalam hati. "Dulu mereka bilang bahwa anak-anakku masih terlalu kecil untuk memahami!" lanjut Adiva merenung. "Ternyata pikiranku telah tertipu dengan argumen dan alasan-alasan yang logis dari kata-kata mereka yang katanya benar!. Lihat hasilnya, sekarang anak-anakku sangat berat untuk mau memilih pilihan agamaku, anak-anakku nampaknya memilih materi!" Adiva mengerutkan ekspresi wajahnya, ia sangat menyesal.

"Aku bahkan sejak awal sudah dianjurkan untuk tidak memberikan informasi tentang pilihan agamaku kepada anak-anakku, supaya mereka bebas memberikan pilihan dan seruan!" Adiva menyeru sesal dalam hatinya. Wajahnya tampak geram. "Celaka benar aku yang tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang ini baru aku sadari, kata-kata mereka yang benar itu tidaklah seutuhnya benar!" Adiva akhirnya mengakui letak kesalahan dirinya. "Mereka ingin merebut aqidah anak-anakku dengan halus. Dan mereka berhasil!" Adiva merenung dengan kenyataan pahit yang ia hadapi sekarang.

"Bagaimana ini ya Allah aku sudah terlanjur terlalu jauh?" pikir Adiva yang baru menyadari kesalahannya selama ini. Pikirannya berperang. Perang yang seharusnya ia sadari dan ia waspadai sejak awal ia mengambil keputusan menikah dengan pria Jerman. "Seharusnya aku dengar kawan-kawanku dulu yang menyuruhku mengajarkan anakku sejak kecil? Mengajarkan mereka dengan sungguh-sungguh dengan cinta yang benar, cinta yang abadi yang bernilai di dunia dan di akhirat. Karena aku mencintai mereka dengan tulus," bisiknya sedih dalam hati.

***

"Bagaimana kalau sudah terjadi seperti kisah ibu itu?" Adiva memberanikan diri bertanya tentang kisah yang disampaikan Ustadzah. "Pilihlah!, Mana yang akan ibu pilih?, Apakah ingin berakhir seperti surat Abasa? Ataukah ingin berakhir seperti surat At Thur?" Ustadzah menjawab diiringi hening. Ruangan itu menjadi benar-benar hening. Sepertinya semua orang sedang mengulas balik dalam pikirannya tentang rencana cinta dan hidup mereka.

"Kalau ingin berakhir seperti surat Abasa itu, berarti ibu tidak cinta mereka!, Ibu hanya cinta materi!" jawabnya. "Jika ibu cinta mereka, maka berusahalah menyampaikan agama kepada mereka dengan sungguh-sungguh!" sambungnya. "Jikalau sudah bersungguh-sungguh berupaya, dan kesulitannya terasa berat. Maka berdoalah! Dan jangan pernah putus berdoa! Seringkali doa seorang ibu dikabulkan setelah sang ibu wafat! Maka anak dan suami tetap akan selamat karena doa ibu tadi! Insya Allah! Amiin!" suara ustadzah itu memberikan harapan dan semangat kepada Adiva.

***

Di suatu sore, di meja makan di Wohnzimmer. Adiva berkumpul bersama suami dan putra-putrinya yang sudah dewasa. Adiva berdebar-debar ingin sekali menyampaikan kepada cintanya yang ia ingin bawa bersama sampai menghadap sang Ilahi. Ia ingin melaksanakan tanggung jawabnya mengajarkan agama kepada suami dan anak-anaknya.

Adiva menetapkan hati. Entah kapan sudah sangat lama sekali pernah ia menyampaikan tentang Islam. Tetapi dulu suaminya nampaknya ingin mengambil jarak. "Sekarang bagaimanakah nanti reaksinya?" tanyanya cemas dalam hati. "Tapi ini adalah tanggung jawab saya! Saya tidak mau lari dari suami dan anak-anak di akhirat nanti karena tidak mengajarkan agama dengan sungguh-sungguh, meskipun sekarang suami sudah tua dan anak-anak sudah dewasa. Tidak ada kata terlambat! Saya cinta kepada mereka dengan cinta yang sebenarnya," Adiva berkata tegas kepada dirinya.

"Jürgen, kita semua 'so wie so' pada suatu saat akan mati. Saya ingin kalau saya mati, dikubur secara Islami. Kamu dulu menikah dengan saya secara Islam. Bagaimana kalau kamu di kubur secara Islam?" Kata-kata itu meluncur lancar dari bibir Adiva kepada suaminya. Ia berdegub keras menanti reaksi yang akan terjadi. "'So wie so', saya sudah lepas dari agama saya yang dulu dan sudah tidak berhubungan lagi," kata Jürgen. Adiva diam dan serius mendengar reaksi suaminya tadi. Ia berdebar-debar dengan kata-kata berikutnya yang akan meluncur keluar dari mulut suaminya itu. "Saya tidak keberatan dikubur secara Islam," kata Jürgen lanjut dihadapan Adiva dan putra-putrinya.

Plong!! Demikianlah perasaan Adiva saat itu, hatinya sangat lega. Sepertinya batu besar yang bertengger di hati lepas begitu saja. Suaminya sekarang tidak lagi mengambil jarak kepada Islam. Apa yang ia khawatirkan dan ia cemaskan sama sekali tidak terjadi. Bahkan ia mengatakan itu di hadapan putrinya yang sudah dewasa. Adiva bersyukur bahwa ia telah mencoba. Agak menyesal mengapa ia tidak mencoba lebih sungguh-sungguh sejak dulu. Tetapi baginya ini adalah permulaan yang sangat baik. Adiva sangat berbahagia.

"Kalau begitu bagaimana tidak sekalian saja kalau kamu datang ke masjid bersama Pak Hans!" seru Adiva menyambung niatan suaminya tadi. Demi mendengar nama kawan bermainnya di lapangan bulutangkis itu, Jürgen memberikan reaksi tubuh yang positif. Sore itu Adiva seperti mendapat anugrah yang besar. Ia sangat bersyukur. Pelan-pelan ia tetap akan berusaha membimbing suaminya yang sudah tua dan anak-anaknya yang sudah dewasa.

Adiva sangat menyadari bahwa jalannya masih panjang. Namun sekarang ini adalah titik balik bagi dirinya untuk menjalankan tanggung jawabnya mendidik suami dan anak-anaknya selama masih diberi waktu. Ia tidak mau menjadi istri dan ibu yang lari ketakutan menghindar dari suami dan anak karena melepaskan tanggung jawab. Ia benar-benar ingin membawa cinta suci yang sebenarnya dan berkumpul bersama-sama suami dan anak keturunannya di dalam surga di hadapan sang Ilahi.

***

Cerpen Karya: Munaya Fauziah, Berlin, Jum'at, 30 April 2010, 14:30 CET

2 comments:

  1. Mba Mun, saya baru blog walking lagi nih setelah sekian lama ;D

    Insya Allah Mr.Jürgen dimudahkan jalannya yah mba, amin....

    ReplyDelete
  2. Amiin...blog kamu ganti suasana ya:) jadi terang..

    ReplyDelete