Wednesday, December 30, 2009

"MAN LERNT NICHT AUS"

Awalnya karena tidak sengaja Anisyah mengucapkan bahwa suaminya sudah berencana „angeben“ kepada professornya tentang tulisan disertasinya. Tetapi ketika mengucapkan kata angeben tersebut Anisyah merasa sepertinya ada yang salah. Dan benar saja sekilas terbesit di fikirannya kata yang tepat adalah abgeben. Kemudian ia memperbaiki kalimat tadi kepada Mbak Nikmah.

Anisyah mendapati seulas senyum menyungging dibibir Mbak Nikmah yang kemudian dicoba ditahan, tetapi Anisyah sudah terlanjur menangkap ekspresi tadi. Ia yakin benar beliau mencoba menjaga perasaan Anisyah supaya Anisyah tidak malu dihadapannya. Vermutung Anisyah sambil menahan geli di dalam hati.... pasti ada yang aneh bahkan kesalahan fatal dari makna kata tadi.

„Sepertinya suami saya sudah akan abgeben disertasinya ke professor“ kata Anisyah memperbaiki kalimat yang disampaikan sebelumnya. „Oh itu maksudnya“ Mbak Nikmah menyambut kalimat itu. „Pantas tadi saya dengar angeben ternyata abgeben“ katanya menahan ekspresi. „Kenapa cepat-cepat sih, apa nggak bisa di tahan lebih lama?, Atau bekerja disini sekalian?, supaya Anisyah jangan pergi“ lanjutnya. Mbak Nikmah sendiri memang bekerja disini sebagai perawat dan kemudian menikah dengan pria Jerman. „Belum tahu juga kok kapan perginya, setelah abgeben masih harus menunggu jadwal dari profesor kapan bisa verteidigung.“ Jawab Anisyah menjelaskan.



Tetapi Anisyah tidak tertarik dengan kalimat beliau yang berikutnya. Ia lebih tertarik menggali makna dari ekspresi wajah ibu berputri satu yang sudah remaja tadi mengenai arti kata itu. Pasti menarik!! Setidak-tidaknya baginya dan mungkin tidak akan ia dapatkan di dalam kelas bahasa Deutsch manapun.

Teringat kepada Malcom X, tokoh kulit hitam yang sangat terkenal dalam sejarah Amerika, yang tergabung dalam organinasi keagamaan Nation of Islam yang dipimpin oleh Elijah Muhammad. Malcom X bahkan bisa membatalkan suatu pertemuan penting untuk berjam-jam berada di dalam perpustakaan demi mencari makna sebuah kata sebelum ia pergunakan di dalam forum-forum diskusinya. Huruf „X“ dalam bagian namanya juga bukan tanpa makna. Tetapi itu adalah simbol penolakan terhadap perbudakan yang bertengger di dalam rangkaian namanya. Nama lahirnya adalah Malcom Little, dan Little baginya merupakan nama keluarga bagi budak. Oleh karena itu ia menggantinya menjadi „X“ sebagai simbol dari nama marga sukunya yang hilang. Tokoh inilah yang selalu menginspirasi Anisyah untuk menggali makna suatu kata sebelum dipergunakan atau disampaikan dalam suatu forum resmi atau sekedar perbincangan ringan.

Jadilah sore ini di dalam Masjid Al Falah Berlin, ia berdiskusi dengan Mbak Nikmah tentang satu kata. „Apa itu Mbak Nikmah arti angeben?“ Tanyanya sambil tersenyum tetapi serius. „Angeben itu lebih pada orang yang sombong“ jawabnya „Seperti kalau dia punya sesuatu atau barang, lalu disebut-sebut di depan orang ingin dipuji“. Lanjutnya menjelaskan dengan suara nya yang rendah dan tenang yang khas „Tapi bukan sombong“ sambungnya cepat. „Oh pamer ya“ kata Anisyah. „Iya...“ jawabnya. „Lantas kalau saya mau bilang perempuan itu sedang pamer, bagaimana kalimatnya?“ tanya Anisyah memburu. „Oh bilang aja „Sie gebt gerade an!““ sambungnya „Terus kalau orangnya disebut Angeber“ lanjutnya sambil mencontohkan seperti seorang ibu yang sedang ngerumpi bersama kawannya sambil menyikutkan tangan „dan kita bicara dibelakangnya kita bilang „angeber !!“.“ dengan mimik wajah dihiasi senyum lucu dan lirikan mata pertanda sebal untuk mencontohkan.

„Wah pinter juga actingnya Mbak Nikmah“ seru Anisyah sambil tersenyum-senyum dalam hati. Terbayang di pikirannya kalau ia tidak mengkoreksi kalimat sebelumnya maka ia telah menyebutkan bahwa suaminya pamer tulisan disertasi kepada professor...Anisyah merasa di sore hari yang indah ini ia telah mendapat hiburan sekaligus mempelajari makna sebuah kata baru.

Sementara itu anak-anak remaja student college di Berlin sedang berkumpul untuk mengadakan syukuran atas keberhasilan mereka lulus dalam ujian stutcol-yang nilai ujiannya akan dipergunakan untuk bewerbung ke universitas di Jerman. Selain di Berlin, beberapa kota lain ada yang sudah mendahului dan ada yang belum disampaikan pengumuman kelulusannya. Dan semua dalam tahap sangat awal dalam studi mereka yang keras penuh perjuangan dan masih jauh membentang di hadapan. Pak Abdullah menyiapkan makanan khusus untuk syukuran para student yang baru lulus ujian stutcol dan acara syukuran ini dilakukan secara spontan.

„Sore ini ramai sekali Mbak Nikmah karena anak-anak stutcol akan syukuran“ kata Anisyah. „Oh mereka anak stutcol, wah perjalanan mereka masih jauh, masih harus banyak belajar.“ kata Mbak Nikmah. Anisyah menganggukkan kepala membenarkan perkataan Mbak Nikmah. „Sampai mereka mampu mandiri dan bermanfaat bagi sekelilingnya, itu tujuan pendidikan.“ katanya merenung dalam hati. „Saya saja yang sudah tua ini masih harus banyak belajar, biar bisa seperti Anisyah“ sambungnya. „Man lernt nicht aus“ lanjutnya. Kalimat Mbak Nikmah yang berikutnya menggugah hatinya. Belajar bahkan tanpa batas, tidak hanya untuk manfaat dunia, tetapi juga masa sesudahnya. Begitulah pesan mendalam yang disampaikan oleh pepatah Jerman yang meluncur dari ucapan ibu yang istimewa ini.

Pak Abdullah sedang mengaduk-aduk tauge dan tumisan tahu di dapur masjid ketika Mbak Nikmah melewati pintu dapur untuk mengecek bungkusan yang ia taruh di depan pintu masjid. „Saya tidak tahu kalau Pak Abdullah pintar masak“ seru Mbak Nikmah „Pak Abdullah kan memang pinter masak Mbak Nikmah“ kata Anisyah sambil melihat-lihat ke dalam panci besar berisi daging kambing yang sudah dipotong-potong yang akan dibuat sup daging kambing, aroma harum dari bumbu yang diolah Pak Abdullah semerbak memenuhi ruangan sampai ke pintu masjid. Tentu saja sebagai seorang pelajar yang berada sendiri di luar negeri, mau tidak mau harus bisa memasak sendiri. Dan proses belajar memasak ini juga bukan hal yang sederhana.

Tiap-tiap orang itu sendiri yang paling tahu apa yang ia inginkan dipelajari tiap-tiap saat dalam hidupnya yang berguna untuk dirinya sendiri dan bermanfaat juga untuk yang lain. Bukankah Rasulullah SAW menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.

„Iya, saya baru tahu sekarang ia pandai masak, padahal sudah 25 tahun kenal sama Pak Abdullah“ katanya sambil tersenyum menjauh dan masuk ke ruang masjid. „25 tahun kenal sama Pak Abdullah?“ tanya Anisyah heran „Iya“ tegas Pak Abdulah menjawab „saya yang menikahkan dia“ sambung Pak Abdullah „Memang Pak Abdullah satu angkatan sama Mbak Nikmah?“ tanya Anisyah ingin tahu „Nggak“ jawabnya. „Siapa yang lebih tua? Mbak Nikmah usianya 60 tahun. Tanya Anisyah sambil memberi informasi. “Dia lebih tua” jawab Pak Abdullah.

Begitulah muslim Indonesia di Berlin, mereka sadar benar kebutuhan untuk melaksanakan syariat Islam, meskipun di negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Mereka memilih menikah resmi sesuai agama yang ikatannya sangat kuat dibandingkan sekadar hidup bersama yang rapuh. Beruntung pada saat itu ada Pak Abdullah yang Anisyah yakin benar bahwa di Indonesia beliau tentunya belum pernah menikahkan seseorang. Tetapi di sini pada saat itu Pak Abdullah menjadi wajib untuk belajar rukun-rukun dalam menikahkan seorang muslim dan langsung mengamalkannya karena ada kebutuhan untuk menjalankan syariat Islam.

Mbak Nikmah sedang bersiap dengan jaket musim dinginnya ketika Anisyah menyapa „Mbak Nikmah mau pulang sekarang?“ „Ya“ jawabnya. „Salam buat Reinhard !“ seru Pak Abdullah dari dapur. „Iya, nanti saya sampaikan.“ Jawab Mbak Nikmah. „Memang Pak Reinhard masih ingat sama Pak Abdullah?“ tanyaku meragukan, „Masih“ jawab Mbak Nikmah, „Pak Abdullah kan yang menikahkan kami“ katanya. „Oh iya ya, Pak Reinhard kan juga penjamin gedung masjid kita yang lama, sebelum gedung yang baru ini“ kata Anisyah mengingatkan dirinya.

Suara adzan Isya mengalir indah menciptakan suasana hening di dalam masjid. Semua terdiam untuk mendengarkan seruan sholat yang dialunkan oleh Irsyad dengan irama lantunan seperti di tanah air. Anisyah menikmati benar suasana itu.

Khalid adalah imam sholat Isya ini. Anisyah memperhatikan remaja stutcol itu dan heran mengapa anak ini bisa dipercaya memimpin sholat. Sedangkan dibarisan makmum ada Pak Abdullah, seorang yang sudah senior, dan Aisyah mengetahui bahwa Pak Abdullah bisa juga menjadi imam, bukankah yang lebih tua dan berilmu sepatutnya yang didahulukan menjadi imam? Tanyanya dalam hati. Anisyah merasa tentu lah anak remaja ini memiliki keistimewaan sendiri.

Ketika sholat dilaksanakan barulah Anisyah tergugah ternyata Khalid memang layak untuk dijadikan imam sholat. Makhorijal huruf yang tepat dan tajwij nya yang bagus, lebih dari rata-rata orang yang ada disana. Tentulah ini bukan proses yang singkat. Khalid pasti telah mempelajari hal tersebut lama sebelum ia tiba di Masjid Al Falah Berlin.

Hening Anisyah dalam sujud berterima kasih kepada Allah sudah membiarkannya sampai Isya berada di masjid dan menyaksikan banyak hal yang indah yang bisa dipelajarinya. Bahagia hangat menyelimuti hatinya di malam musim dingin tahun 2009 ini. “Wahai Tuhanku, aku bersyukur kepada Mu telah mengirimkan pemuda-pemuda yang akan menjadi penegak rumah Mu” seru Aisyah dalam hati. Mungkin itu sedikit contoh betapa Allah menaikkan derajat orang-orang yang berilmu dan beramal.

“Mari semua berkumpul !” kata Pak Abdullah setelah sholat berjamaah. Kemudian para remaja berkumpul membuat lingkaran. “Mana Anisyah?” tanya Pak Abdullah. Anisyah mendengar suara Pak Abdullah menyebut namanya. Kemudian Irsyad yang diminta Pak Abdullah menghampiri Anisyah untuk segera ikut bergabung. “Sepertinya saya tidak perlu ikut” elak Anisyah. “Pak Abdullah minta Mbak ikut” sambutnya. “Baiklah,” kata Anisyah, ia mengira akan ada sedikit nasihat untuk remaja student ini dari Pak Abdullah.

Pak Abdullah memiliki julukan khusus dari student di Berlin, Menteri Tenaga Kerja demikian gelarnya. Bapak ini memang sudah lama menetap di Berlin, sejak ia belajar sebagai mahasiswa hingga lulus dan bekerja. Sudah sejak lama ia menjadi penolong mahasiswa Indonesia yang butuh pekerjaan. Dibawah abteilung nya ia biasa mengatur siapa dan berapa jam jadwal kerja bagi seorang mahasiswa sehingga tidak mengganggu kuliah mereka.

“Saya merasa menyesal setelah umur saya sekarang ini, saya baru menyadari betapa banyak kekurangan saya dalam berbagai hal.” Kata Pak Abdullah dalam nasehatnya. Hening suasana ruang besar masjid seperti sedang menanti kalimat berikutnya “Padahal setiap orang sudah punya kontrak sendiri-sendiri dengan Allah Subhanahuwata’ala sewaktu ia berada dalam rahim ibu” lanjut Pak Abdullah. “Saya berusaha untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan saya tersebut sekarang dengan belajar kembali” katanya sambil wajah nya memandang berkeliling menatap para remaja itu satu-persatu.

“Masing-masing kita punya kontrak, ada yang 50 tahun 60 tahun atau 70 tahun” sambungnya dengan serius “Oleh karena itu kalian harus punya target dalam belajar di sini, berapa tahun lagi akan lulus kuliah? Targetkan itu!!, Perjalanan kalian masih jauh, kalian sudah lulus student college tetapi itu baru tahap yang sangat awal, jangan sampai terlena” katanya dengan suara mendalam.

“Saya melihat pada zaman saya cobaannya semasa kuliah adalah diskotik, setiap jumat malam hingga sabtu malam, semua sudah berdandan necis untuk pergi ke diskotik” Pak Abdullah menuturkan kisahnya. “Kalau sudah masuk ke sana sudah tidak ingat apa-apa lagi yang ada bir, ada musik, mana ingat sholat!” urainya “Tapi sekarang saya lihat cobaannya adalah….” Pak Abdullah memelankan suaranya sambil memperagakan tangannya yang mengetik. Kemudian disambut “geerrr” tawa renyah para pemuda dan pemudi itu…yang dimaksud Pak Abdullah adalah menghabiskan waktu di depan computer dengan berbagai permainan yang tersedia melaluinya, ditambah lagi dengan melayani berbagai jejaring social yang seringkali menyita perhatian. “Iya itulah….” Katanya menyambung, sambil sekali lagi memeragakan dengan tangan dan jari-jemarinya.

„Kalian jangan sampai terlena“ katanya menekankan lagi „Banyak sekali kawan-kawan saya yang kemudian setelah tua menyesal karena terlena tidak belajar sejak dulu.“ lanjutnya „Apa yang dicari lagi setelah tua seperti ini, sementara saya sudah merasa mengerjakan banyak hal dan sekarang merasa banyak kekurangan di masa-masa dulu, setelah tua begini maka masjid ini menjadi tempat saya“ terangnya „Sebisanya datanglah sholat di masjid, di waktu-waktu sholat, atau minimal sekali seminggu untuk belajar. Saya berkata bukan hanya omong biasa tapi saya berkaca dari pengalaman.“

Demikianlah Pak Abdullah memotivasi dan mengingatkan mereka tentang kontrak umur. Aisyah memandangi Pak Abdullah, dan mengambil kesimpulannya sendiri bahwa bapak itu memang belajar banyak dari pengalaman hidupnya dan tetap terus belajar dimasa tua sekarang.

„Silahkan Anisyah untuk memberikan sedikit nasehat“ katanya tiba-tiba. Sontak Anisyah terkejut namanya disebut mendadak. „Anisyah sudah juga mengalami proses pendidikan hingga S2 dan sekarang juga menjadi dosen“ kata Pak Abdullah menyebut sedikit latar belakang Anisyah. Awalnya ia ingin menolak namun ia merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk memberi semangat kepada remaja-remaja ini kebetulan mereka sedang berkumpul dalam acara mendadak yang tidak direncanakan jauh sebelumnya, „Saya hanya ingin mengingatkan seperti yang sudah disebutkan oleh pak Abdullah bahwa kalian juga punya kontrak kepada orang tua yang telah memberikan segala fasilitas dan semua ini harus dipenuhi dengan kesuksesan studi.“ Kata Anisyah

„Sering-seringlah meminta maaf dari mereka apalagi kalau mau ujian“ Anisyah mengatur intonasi suaranya kemudian menyambung „Jangan malas untuk menelepon kepada orang tua jangan cuma diwaktu susah tetapi juga diwaktu senang dan mintalah ridhonya, karena ridho Allah ada pada ridho orang tua“ Anisyah kemudian menyudahi kesempatannya berbicara ia tidak ingin berlama-lama karena sudah cukup malam.

„Kepada Pak Iman, silahkan untuk menyampaikan pesannya“ Pak Abdullah mempersilahkan Pak Iman, yang datang ke masjid untuk sholat Isya berjamaah. Pak Iman memang sering datang untuk sholat berjamaah apalagi rumahnya juga tidak jauh dari masjid. Ia juga bersekolah sampai selesai, bekerja dan menetap di sini. „Saya cuma ingin mengingatkan supaya bersyukur dengan kelulusan ini karena Allah berfirman „Bersyukurlah kepadaKu niscaya akan Aku tambah nikmatKu“ perjalanan studi ini masih panjang, semoga dengan bersyukur akan diberi kemudahan-kemudahan.......
...“. demikian nasehat Pak Iman. Tiba-tiba handy Anisyah berdering memecah keheningan, ia segera bergerak keluar khawatir percakapannya menganggu kelanjutan acara yang hening itu.

“Halo” suara Anisyah menyambut dering handy tadi. “Assalamu’alaikum Anisyah” sapa suara diujung sana “Wa’alaikumsalam Mbak Hafsah, sudah di rumah ya sekarang?” seru Anisyah senang “Belum, saya masih di dalam kereta dari Muenchen, tadi landing jam 18:30 mau naik kereta yang jam 19:00 tidak bisa. Jadi baru naik kereta” jawabnya.

Mbak Hafsah baru kembali setelah 1,5 bulan Malaysia, ia diminta untuk mendisain interior sebuah gedung “Schoenheit laden” yang dimilikinya dulu, namun berpindah kepemilikan karena ia pindah ke Berlin bersama suami dan ketiga putrinya. Sulit untuk mengelola sebuah bisnis dari tempat yang jauh. Namun rupanya pemilik modal baru tidak mampu belajar cepat dalam manajerial sebuat salon kecantikan berkelas internasional sehingga banyak kehilangan kepercayaan dari pelanggan tetapnya. Bisa dibayangkan kerugian yang diderita, keuntungan 2000 dolar sebulan yang biasa normal didapat bisa turun sampai 300 dolar sebulan.

Oleh karena itulah ia diminta kembali membantu memperbaiki kesalahan-kesalahan konsep dan manajerial salon kecantikan itu, tentu saja dengan perjanjian kerja. Mulai dari disain gedung luar dan dalam, training pegawai, marketing, promosi, dan sebagainya. Terbayang di kepala Anisyah betapa lelahnya. Padahal sebelum dipindahtangankan Mbak Hafsah sudah mengajarkan seluk beluk pengelolaan salon kecantikan berkelas internasional dengan pendampingan hingga beberapa bulan ke depan. Ternyata pemilik yang baru tidak mampu mengelola kepercayaan pekerja dan kepercayaan pelanggan. Sehingga ia mau membuat perjanjian bagi hasil keuntungan dari salon tersebut kepada Mbak Hafsah. Mungkin dia masih harus banyak belajar lagi dari Mbak Hafsah yang memang sabar, tegar dan ulet.

„Waduh yang penting Mbak Hafsah sehat ya“ kataku “Iya, aku sehat tapi di sini di Muenchen dingin sekali padahal aku cuma pakai pakaian tropis gini loh” katanya. „Memang sekarang sudah minus 2 di Berlin dan semakin malam akan semakin dingin.“ Pasti Mbak Hafsah kedinginan sekali pikirku. „Bagaimana kelas bahasa kita?“ tanya nya „Sudah selesai rabu lalu.“ jawabku “Maksudku apakah kamu sudah daftar untuk selanjutnya?” tanyanya lagi „Sudah Mbak Hafsah, aku sudah daftar lagi untuk periode selanjutnya, Kristina bilang kalau Mbak Hafsah boleh mundur mendaftarnya karena belum pulang“ jawabku menerangkan. „Oh saya sudah titip suami saya untuk mendaftarkan lewat Medere kalau dia ketemu di dekat rumah“ katanya lagi. „Jadi orang-orangnya masih sama?“ tanyanya „Iya masih“ kataku. Keuletan Mbak Hafsah sering menjadi inspirasi bagi Anisyah. „Ia masih terus semangat belajar....!“ seru Aisyah dalam hatinya sambil terdiam.

Belajar memang sepanjang masa dan tidak akan pernah berhenti hingga tutup usia. „Man lernt nicht aus“ pepatah ini menjadi lecutan manis dalam keterdiaman Anisyah.

Berlin, Kamis 17 Desember 2009
CERPEN KARYA: Munaya Fauziah

angeben (memamerkan)
Deutsch (Jerman)
vermutung (dugaan)
verteidigung (ujian mempertahankan disertasi)
abgeben (menyerahkan)
abteilung (divisi kerja)
bewerbung (promosi)
student college/stutcol (siswa yang belajar minimal 1 tahun setelah lulus SMA di negara asalnya untuk bisa masuk ke universitas Jerman)

No comments:

Post a Comment