Thursday, December 31, 2009

TUNGGU SAYA DI SURGA!! (WIR SEHEN UNS IM HIMMEL)

“Mas, kamu kok rapi sekali, pakai batik segala sama hiasan-hiasannya juga lagi. Kamu mau kemana?” komentar Yasmin sambil bertanya kepada suaminya. “Saya mau istri saya senang sama saya, kamu kan sering bilang sama saya kalau ke masjid jangan pake baju tidur atau baju rumahan. Kalau ke masjid pakai baju yang bagus.“ dengan suaranya yang besar dan logat Jermannya yang kental Timm menjawab rasa penasaran istrinya. “Kamu bilang malu kalau saya datang ke masjid pakai celana pendek atau kaos oblong.” lanjutnya sambil terus menata pakaiannya di depan cermin.

“Loh memangnya kamu mau kemana? Sholat iednya nggak di masjid, tapi di kedutaan. Mau mengantar saya dan anak-anak ke kedutaan?” seru Yasmin. “Nggak usah Mas! “ Yasmin berkata tegas kepada suaminya.”Kamu kan sedang lemas dan sakit, biar saya dan anak-anak berangkat sendiri saja.” Lanjutnya. “Tidak, biar saya antar kamu dan anak-anak. Saya masih bisa!” Timm bersikeras.



Hari ini adalah hari raya Idul Fitri. Masyarakat Indonesia melaksanakan sholat Idul Fitri bersama di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, karena masjid Al Falah Berlin tidak mampu menampung jemaah yang luar biasa banyaknya yang juga datang dari berbagai kota untuk bersilaturahim pada hari raya.

“Selamat Hari Raya Idul Fitri Timm, minal aidin wal faidzin.“ kata seorang ibu menyampaikan selamat kepada Timm. Timm mengulurkan tangan dan tersenyum. “Timm kelihatannya tambah kurus. Apa sedang sakit?” lanjut ibu itu sambil bertanya. “Timm memang agak kurang sehat” Yasmin menerangkan keadaan suaminya kepada ibu itu. “Mudah-mudahan lekas sembuh ya” kata ibu itu sambil pamit pergi.

“Yasmin kalau tengkuk orang sudah lebih tinggi dari leher dan kepala sudah mulai merendah biasanya orang itu sudah dekat…!” belum selesai Timm dengan kalimatnya Yasmin menyela “umur kamu masih panjang!” katanya. “Saya sudah melihat banyak kawan-kawan saya…” Timm menyambung.” Kamu masih bisa sepuluh tahun lagi…!” seru Yasmin memutus kalimat suaminya itu. Yasmin memang berharap Timm berumur panjang karena ia merasa belum siap hidup sendiri membesarkan dua anak mereka masih kecil-kecil.

***

Malam ini Timm merasa sangat lelah, sakit pinggangnya kambuh lagi. Biasanya Yasmin memijat-mijatnya untuk menghilangkan rasa sakit itu. Sakit yang sudah lama ia rasakan. Tapi ia tidak akan membiarkan dokter manapun memeriksa tubuhnya.

“Mas bathtub nya sudah saya siapkan dengan air hangat penuh. Mas berendam saja dulu,
biasanya setelah itu badannya bisa agak enakan.” Kata Yasmin sambil menyiapkan handuk dan perlengkapannya. Timm menurut kata istrinya itu. Ia kemudian berendam dalam air hangat. Sementara Yasmin sibuk mengurus keperluan anak-anak.

Fikiran Timm melintas pada dua anaknya yang lucu-lucu dan masih kecil dan juga istrinya yang sangat mencintainya. Apakah ia masih bisa mendampingi mereka lebih lama lagi, sementara fisiknya terasa sudah sangat menurun drastis. Sementara tiga anak lainnya dari perempuan Jerman, istri pertamanya yang sudah meninggal dunia, masing-masing sibuk dengan keluarga mereka.

Ia teringat ketika Yasmin menginginkan agar punya anak yang pada awalnya ia kurang sepakat mengenai itu. Tetapi Yasmin memang masih muda dan dia punya hak untuk mendapatkan keturunan. “Die kinder sind mein Wunsch, nicht dein Wunsch, anak-anak ini adalah keinginan saya, bukan keinginan kamu dan saya yang akan merawat mereka karena saya adalah ibunya, dan yang merawat mereka bukan kakak-kakaknya tapi saya." kata Yasmin keras padanya. Begitu kokoh Yasmin mempertahankan pola pendidikannya untuk anak-anak itu, bukan pola pendidikan ala atheis Jerman seperti yang Timm dan almarhum istrinya berikan kepada anak-anaknya yang lain.

***

“Mas, kenapa lama sekali di kamar mandi?” Tanya Yasmin heran sambil masuk ke kamar mandi ia khawatir karena siang tadi suaminya sangat lelah. “Ich kann nicht beweg!.” kata Timm pendek. “Hah…ada apa Mas?” Yasmin mengecek tangan dan kaki suaminya. Semuanya kaku dan lemah. Entah mengapa tiba-tiba tangan dan kaki suaminya tidak bisa bergerak saat itu. Hatinya kalut tetapi ia berusaha melawan. Segera Yasmin mengambil kursi dan membawanya ke kamar mandi.

“Sini mas biar aku angkat sampai kursi itu ya.” Katanya memberi aba-aba kepada Timm. Yasmin tidak tahu apa ia bisa kuat mengangkat suaminya yang ukuran badannya besar seperti rata-rata ukuran orang jerman sedangkan tubuh Yasmin sendiri kecil menurut ukuran asia, tetapi ia harus bisa, ia berusaha sekuat tenaga, tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini hanya dia seorang diri yang bisa menolong suaminya.

“Bismillah…!” Yasmin pun mengangkat tubuh suaminya dan mendudukannya di kursi. Sebetulnya Yasmin sangat heran, kekuatan dari mana yang menolongnya sehingga bisa melakukan itu. Tapi masih ada yang lebih penting yang harus ia pikirkan. “Mas saya panggil ambulans ya?” katanya meminta persetujuan suaminya. “Jangan!, Saya tidak mau mereka melihat saya cuma dengan celana pendek ini” jawab Timm. “ Baiklah saya ambilkan pakaian dulu” Yasmin bergegas mengambilkan pakaian Timm dan memberikannya pada suaminya itu. Selama suaminya memakai pakaian Yasmin segera menelepon anak pertama Timm. “Timm sakit, perlu ke rumah sakit, bisa kamu pesankan taksi ke sini.” Pinta Yasmin. “Ya.” kata suara di seberang sana. Yasmin merasa taksi lebih cepat, karena memesan ambulans akan banyak pertanyaan tentang sakit suaminya

Selesai Timm berpakaian Yasmin masuk ke dalam kamar mandi. “Mas Taksi sudah datang, kita ke dokter sekarang!.” Kata Yasmin memberitahu. “Baiklah” Timm tidak punya pilihan, nampaknya malam ini ia harus berhadapan dengan dokter yang sudah di hindarinya selama tujuh tahun terakhir ini.

***

“Ada infeksi di jantungnya, dia harus tinggal di rumah sakit! “ Dokter menjelaskan kepada Yasmin dan Michael anak pertama Timm. Yasmin pasrah. Ia tahu benar suaminya beberapa kali mengeluhkan rasa sakit namun Timm tidak pernah mau memeriksakan dirinya ke dokter. “Tetapi di tempat kami tidak tersedia peralatan yang cukup untuk pemeriksaan selanjutnya, oleh karena itu pasien akan dirujuk ke rumah sakit di Friedrichschein. Di sana peralatannya lebih lengkap untuk pemeriksaan selanjutnya.” Kata dokter itu melanjutkan.

Beruntung Yasmin memiliki hubungan yang baik dengan semua anak-anak Timm. Mereka sering berkumpul bersama dalam berbagai acara keluarga, sehingga mereka dengan mudah bersedia dimintakan pertolongan untuk ayahnya saat keadaan darurat semacam ini. Yasmin menepis semua pikiran buruk yang melintas dikepalanya. Ia yakin Timm masih bisa bertahan, umurnya masih panjang masih bisa 10 tahun lagi, mungkin lebih. Harapnya.

***

“Dimana suami saya Dokter?” Tanya Yasmin kepada dokter yang berjaga.”Kenapa kamarnya sudah di tempati orang lain? Dia tidak ada di sana!” Yasmin memburu dengan cemas.

Timm memang sudah lebih baik kondisinya sehingga ia di pindahkan ke rumah sakit GSZM di Turmstrasse ini. Hanya beberapa blok dari Masjid Al Falah Berlin sehingga lebih mudah baginya mengantar kedua anaknya ke Taman Pendidikan Al Qur’an dan sekaligus menengok suaminya. Demikianlah selama bulan-bulan terakhir ini. Yasmin menengok suaminya berselang seling dengan mengurus keperluan kedua anaknya.

Hari ini telpon genggamnya jatuh sehingga tidak berfungsi lagi. Mungkin karena berbagai macam yang harus ia kerjakan sendiri ditambah lagi beban kesedihan yang mendera selama sakitnya Timm, membuat ia tidak bisa berkonsentrasi penuh pada banyak hal.

“Frau Adler, kami sudah coba menghubungi anda berkali-kali, tetapi tidak ada yang menjawab.” Kata dokter yang bertanggung jawab terhadap Timm. “Timm sudah di pindahkan kembali ke rumah sakit di Friedrichschein karena kondisinya kembali kritis.” Sambungnya menerangkan. “Hasil pemeriksaan menunjukkan Timm terkena leukemia, dan kanker tersebut sudah menjalar ke sebagian organ tubuhnya.”

Yasmin merasa sesak mendengar berita tersebut. Rupanya rasa sakit yang sering dikeluhkan suaminya beberapa tahun terakhir itu sudah sampai pada finalnya. Leukemia. Kanker darah. Sekarang Yasmin terngiang-ngiang kembali kata-kata yang pernah diucapkan suaminya. “Kalau tengkuk orang sudah lebih tinggi dan kepala sudah tertunduk berarti orang itu sudah dekat…”. Apakah saat itu suaminya sedang mencoba memberitahu dirinya?... tetapi saat itu ia belum siap...

***

“Nicht wein. Nicht wein”. Kata Timm kepada dua putri kecilnya yang menengoknya. “Du Dummschen… darfst auch nicht wein!” katanya diantara penggalan nafasnya kepada Yasmin. Dummschen adalah panggilan kesayangan Timm kepada Yasmin karena ia mengenalnya pertama kali sebagai gadis sederhana yang polos dan jujur.

"Yasmin.., kalau saya sembuh..." Timm menarik nafas."...kamu undang... kawan-kawanmu dari masjid ke rumah buat Danksagung ya!" pintanya. "Ya Mas, saya akan buat syukuran untuk kamu." Janji Yasmin. Yasmin memang pernah mengundang banyak ibu-ibu mengaji di rumah mereka. Sudah lama Timm ingin Yasmin membuat acara syukuran untuknya jika ia sembuh.

***

Air mata Yasmin meleleh menderas melihat Timm yang semakin melemah. Ia masih mengharapkan suaminya itu menemaninya dan melihat anak-anak mereka tumbuh remaja. Tapi apakah mungkin? Mengapa Tuhan memberi cobaan seperti ini padanya? Mungkin ini adalah peringatan Tuhan untuk Timm? Yasmin menguatkan diri menatap realita yang harus dihadapinya.

“Mas, kamu adalah seorang Islam.” Kata Yasmin hening sambil duduk di sebelah kasur suaminya itu “Kamu menikahi saya dengan membaca syahadat. Tetapi kamu belum mau sholat. Kamu sering datang dan juga berlama-lama masuk ke masjid mengantar saya mengaji dan juga mengantar anak-anak kita belajar membaca Al Qur’an.” Lanjutnya “Mungkin sekarang saatnya kamu minta ampun kepada Allah.” Timm menatap istrinya dalam-dalam. Timm mengakui dalam dirinya kebenaran itu. “Allah Maha Pengampun Mas. Sekarang kamu masih diberi kesempatan untuk minta ampun.” Yasmin berkata lembut kepada suaminya yang nafasnya sudah terlihat berat itu. “Kamu ikuti saya ya Mas baca syahadah” kata Yasmin lagi . Timm menganggukkan kepala tanda setuju. Yasmin khawatir suaminya tidak punya waktu lagi. “Asy hadu alaa ilaa ha illa Allah, wa ash hadu anna Muhammad Rasulullah ” kata Yasmin satu-satu kemudian Timm mengikutinya satu-satu.

Saat itu masuklah Gisela anak ketiga Timm dari istri pertamanya ke dalam kamar rumah sakit itu bersama dengan suaminya yang seorang Turki. Ia datang untuk menjenguk ayahnya. “Hah!, Timm bisa membaca syahadah!.” kata menantunya tadi terheran-heran menyaksikan peristiwa itu. Menantu Turkinya memang tidak tahu kalau Timm seorang muslim. Selama ini ia menduga bahwa Timm adalah atheis seperti kebanyakan orang Jerman lainnya. “Ya tentu saja dia bisa, dia seorang muslim!.” Seru Yasmin “Ia menikah dengan saya secara Islam.” sambung Yasmin menerangkan. “Tentu saja ia bisa baca syahadah!.” Yasmin kembali menegaskan.

“Papa, ich bin deine Tochter.” Gisela menyapa ayahnya. Timm memandang sosok di depannya. Ia tidak kenal siapa wanita itu yang mengaku sebagai anaknya. Rasa sakit yang di derita sudah menghilangkan sebagian besar ingatannya, atau ia memang tidak mau mengingat-ingatnya. Timm menggelengkan kepala, tanda ia tidak mengenali wanita itu. “Ich bin doch deine Tochter!” kata Gisela meyakinkan Timm. Tetapi Timm hanya menggelengkan kepala. Yasmin merasa janggal bahwa Timm tidak dapat mengenali lagi Gisela. Timm hanya mengenali beberapa orang saja dari keluarganya yaitu dirinya, sepupu Yasmin, dan dua anaknya yang masih kecil.

***

Sore ini Yasmin mengajarkan Timm mengucap takbir, Allahu Akbar, yang terus menerus dibisikkan ke telinganya. Yasmin merasa takbir lebih mudah bagi Timm untuk diucapkan. Timm berusaha mengikuti takbir itu. “Saya harus berhenti menangis.” Kata Yasmin dalam hatinya sambil memandangi wajah suaminya yang sangat menyayanginya. “Saya sudah berbulan-bulan ini menangis. Saya sudah tidak mau menangis.” Yasmin berusaha menguatkan dirinya. Sebetulnya sore itu Yasmin tidak ingin meninggalkan suaminya sendiri di rumah sakit. Tetapi anak-anaknya membutuhkan dirinya.

Jam 18:00 CET, waktu besuk sudah usai. Di rumah sakit Jerman tidak ada pembesuk yang boleh menginap menemani pasien di kamarnya. Meskipun ia keluarga dekat.

"Mas, kamu baca terus Allahu Akbar, Allahu Akbar, kalau syahadah terlalu panjang buat kamu, nafas kamu sudah tidak kuat lagi." Yasmin mengingatkan kembali Timm yang memandangnya lekat-lekat. Timm merasa mulutnya sudah kaku, ia tidak mampu lagi mengucap kata. Timm berusaha mengatur nafasnya yang ia rasa semakin berat, ia berusaha mengikuti pesan istrinya.

***

"Frau Adler, suami anda sangat berbeda dengan pasien-pasien yang serupa dengannya. Biasanya pasien-pasien tersebut selalu berteriak-teriak dan menjerit-jerit. Tetapi suami anda tidak. Dia sangat tenang." kata dokter kepada Yasmin. Yasmin memperhatikan benar apa yang disampaikan dokter tersebut. Ia yakin benar Allah Subhanahuwata'ala telah meringankan segala sesuatunya untuk Timm. Mudah-mudahan ini adalah tanda ampunan dari Nya. Yasmin berdoa.

***

"Ini surat-surat, harus segera kamu tanda tangani, saya mengurus ini sudah dua bulan. Akhirnya selesai juga." Kata Michael sambil menyodorkan beberapa lembar dokumen. Yasmin tidak yakin tentang dokumen yang disodorkan itu, ia merasa fikirannya mengawang-awang tidak menentu. Ia tidak bisa berfikir jernih, terlalu banyak yang harus dihadapinya. Tetapi Michael adalah anak kepercayaan Timm, dan telah menolongnya sewaktu Timm harus ke rumah sakit. Pasti surat itu penting. Mungkin berkaitan dengan permintaan Michael atas fotokopi surat nikahnya dengan Timm beberapa waktu lalu. Yasmin menerima pulpen yang disodorkan Michael dan tanpa banyak bertanya ia menggerakkan pena menandatangani dokumen itu. Selintas matanya mengarah ke kop surat yang bertuliskan Bestatungen (Pemakaman).

"Apa!.." seru Yasmin kaget. "Pemakaman!..Michael papamu masih hidup! Apa-apaan ini kamu sudah mengurus untuk pemakamannya sudah sejak dua bulan lalu!" seru Yasmin keras, hatinya remuk...melihat sikap Michael seperti itu kepada papanya...Yasmin berurai air mata. "Kalau memesan pemakaman memang harus jauh-jauh hari, kalau tidak nanti biaya nya akan lebih mahal." jawab Michael menjelaskan. Yasmin terdiam mendengarkan. Sebetulnya ia tidak perduli berapa biaya pemakaman untuk suaminya, ia punya tabungan. Tapi yang menghancurkan hatinya adalah sikap Michael, yang sepertinya tidak mempunyai perasaan, ia terlalu cepat memesan pemakaman untuk ayahnya padahal ayahnya masih hidup.

"Dengar ya Michael, saya istrinya, saya punya hak menentukan cara pemakaman Timm. Saya tidak mau dia di bakar seperti mama kamu dahulu. Saya mau dia dikubur selayaknya memakamkan seseorang. Timm bukan atheis, dia Islam. Saya mau dia di kubur!" Seru Yasmin keras. "Kalau dikubur biayanya sangat mahal. Saya harus fax dokumen ini sekarang ke Bestatungen." Jawab Michael. "Tidak apa, walaupun mahal saya akan bayar semuanya!" seru Yasmin. "Ini saya kembalikan fotokopi surat nikah yang dulu saya minta." kata Michael sambil menyerahkan selembar kertas itu. Yasmin terdiam. Sedih hatinya. Ia menerima selembar kopian itu.

***

"Papa, ich bin Michael." kata Michael memberitahukan kedatangannya kepada Timm. "Saya sudah melaksanakan segala sesuatu untuk keperluanmu." katanya melaporkan, dan ia merasa memang ialah anak andalan ayahnya. Michael meraih tangan Timm. Tapi Timm sudah tidak bisa mengingat lagi dengan jernih karena sakitnya.

Timm menepis tangan Michael dari jari-jemarinya. "Mengapa ia menepis tangan saya?" Michael yang terkejut akan sikap ayahnya itu bertanya kepada Yasmin. "Ayahmu sedang sakit, sekarang ini ia sangat-sangat sensitif perasaannya," Yasmin berusaha menenangkannya. "Dia bisa mengenali perasaan seseorang kepadanya." kata Yasmin. "Oh jadi papa tidak mau mengenal saya." Michael merasa panas hatinya. Ia merasa sudah memberi banyak bantuan tetapi ternyata ayahnya menolaknya. "Bukan begitu." jawab Yasmin menerangkan "Cobalah berkata yang lembut kepadanya. Mungkin suara kamu terlalu keras. Ayahmu sangat sensitif sekarang ini." Yasmin meminta. "Papa, ich bin Michael, ich komme zu dir besuchen." Michael mencoba lagi sambil meraih tangan ayahnya. Tetapi Timm kemudian menepis tangan itu lagi. Michael sangat kecewa. "Papa waktu mama meninggal dulu, saya mendapat banyak warisan tetapi sekarang mengapa kamu hanya memberi saya sedikit ?!." kata Michael kepada ayahnya. Timm kemudian menepisnya lagi. "Sekarang kamu bahkan tidak mau mengenal saya! Ya sudah! Saya tidak akan menengok mu lagi!." Michael sangat marah kepada papanya. Ia kemudian pergi dan tidak pernah datang lagi.

Sedih Yasmin, melihat kejadian itu. Hubungan yang sudah ia bina bertahun-tahun harmonis dengan semua anggota keluarga suaminya, sekarang mulai terlihat pecah. Ia melihat sifat perhitungan Michael kepada ayahnya sendiri, yang sedang sakit parah.

***

Timm sudah tidak bisa bicara lagi. Tangan Timm berusaha melepas semua selang infus dan kabel alat elektronik yang menempel di tubuhnya, ia ingin menjadi manusia normal seperti selama tujuh tahun terakhir yang ia lewati, ia menghindar dari pemeriksaan dokter manapun. Namun kali ini Timm sudah tidak mampu menghindar dan tidak mampu berkata untuk menolak. Dokter kemudian mengikat tangan Timm.

Yasmin melihat suaminya sangat menderita. Ia tidak tega. Ia merelakan suaminya sekarang. Ya! Sekarang ia rela. Ia ingin memenuhi keinginan suaminya melepas semua selang dan kabel-kabel itu. Tetapi tidak semudah itu prosedur rumah sakit di Jerman. Dokter bahkan menambah tabung oksigen baru dan menambah dosisnya untuk Timm.

***

"Mas, apa Mas sudah mau pergi? Mas mau bertemu Allah?" tanya Yasmin kepada suaminya. Timm mengangguk lemah membalas pertanyaan Yasmin. Yasmin memandangi wajah suaminya yang kemudian tertengadah menghadap ke langit-langit rumah sakit. "Mas apa mas sudah melihat malaikat sekarang?" tanya Yasmin menahan perasaan pilu nya. Timm kembali mengangguk memberi tanda. "Baiklah, Mas saya rela Mas pergi." Yasmin meyakinkan suaminya "Mas akan masuk surga." Timm mengatur nafasnya satu satu tanda ia memahami apa yang diucapkan Yasmin.

"Tunggu saya disana, tunggu saya di surga, saya akan menyusul Mas. Kita akan berkumpul lagi di sana bersama anak-anak. Anak-anak mu akan mendoakan kamu." Yasmin terus membisikkan ke telinga Timm. "Saya akan mengajarkan mereka Islam, mereka akan mendoakan kamu Mas." Yasmin melanjutkan. "Mas tidak perlu khawatirkan saya dan anak-anak. Saya sekarang adalah seorang perempuan yang punya selbstbewusst. Punya kepercayaan diri. Bukan perempuan yang seperti dulu. Saya sudah bisa semuanya. Saya akan jaga anak-anak kita. Mas tidak usah khawatirkan saya lagi. Mas bisa tenang sekarang." Detak jantung dan nafas Timm tenang dan teratur mengikuti keihklasan Yasmin kepada dirinya.

***

"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." Yasmin merenungi ayat ke 21 surat At Thuur yang ia baca. Hampir setiap hari ia juga membacakan surah Yasin di hadapan suaminya di dalam kamar rumah sakit itu.

***

"Mama, kapan Papa pulang ma?" tanya anaknya. "Papa sakit nak" jawab Yasmin tabah, "Mungkin papa tidak akan pulang ke rumah lagi." lanjutnya pelan. "Papa terus pulang ke mana ma?" tanya anaknya dengan lugu. "Papa akan pulang ke Himmel nak." Jawab Yasmin menahan perasaannya. "Semua orang yang meninggal akan ke Himmel nak." sambung Yasmin sambil mendekap anak-anaknya. Anak-anaknya masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi. Air mata Yasmin kembali mengalir. "Mama, nicht wein, mama. Ich bin nicht wein. Papa hat gesagt du darfst nicht wein." kata anaknya yang paling kecil. Anak itu belum mengerti segalanya namun suara halus anaknya itu menguatkan diri Yasmin.

***

"Mbak Yasmin, bagaimana rencana pemakaman Timm?" tanya seorang ibu, kawannya di pengajian masjid, yang sedang menjenguknya. "Sudah diatur sama anaknya yang pertama. Dia sudah memesan Bestatungen." jawab Yasmin. "Apa mbak Yasmin yakin dia memesan pemakaman Islam untuk Timm?" tanya si ibu lagi. "Saya sudah tanda tangan, tapi saya sudah bilang padanya kalau saya mau Timm dikubur bukan di bakar." jawab Yasmin lanjut. "Di kubur ada dua macam, bisa penguburan Nasrani bisa Muslim. Coba mbak Yasmin cek lagi!" pinta si ibu ingin memastikan.

Dokumen pemakaman semua ada pada Michael. Sedang Yasmin sudah menerima kembali fotokopi surat nikahnya. Ia mengamati fotokopi itu yang nampaknya berubah. Yasmin mendapati bahwa Michael telah mencoret kata Islam pada keterangan agama suaminya. Dan fotokopi yang tercoret itulah yang dikirim kepada Bestatungen!.

Ternyata tidak semudah itu!. Yasmin harus berjuang lagi agar suaminya mendapatkan pemakaman Islam yang selayaknya. Sedang Michael jelas sekali memendam bibit perpecahan dalam keluarga. Bagaimana ini?! Yasmin bingung sekali karena ia sudah terlanjur menandatangani dokumen itu saat ia tidak berfikir jernih. Apakah masih bisa dibatalkan?!. Ia tidak tahu no telepon atau alamat Bestatungen itu. Dia hanya tahu nama Bestatungen itu karena istri pertama Timm menggunakan Bestatungen yang sama. Dia harus kembali menghubungi Michael untuk pembatalan itu. Padahal ia kenal benar karakter Michael. Dan sekarang anak itu dalam keadaan sangat marah dan kecewa.

"Oh sanggup kah aku?" Yasmin berbisik dalam hati. Selama menikah dengan Timm, Yasmin selalu menghindar dari perbincangan-perbincangan yang tidak mengenakan yang terlontar dari Michael. Yasmin akan menggunakan alasan mengajak anaknya berjalan-jalan atau berbelanja ke toko agar tidak terjadi konfrontasi langsung dengannya demi menjaga keharmonisan keluarga. Namun ia harus segera membatalkannya, kawannya sudah memberitahukan bahwa semua perjanjian hukum masih bisa dibatalkan sampai 14 hari tertanda resmi.

"Bagaimana kalau terjadi perpecahan keluarga karena ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Memang secara pribadi ia tidak pernah punya masalah dengan semua putra-putri bawaan suaminya. Mereka semua biasa berkomunikasi dengan Yasmin. Diantara anak-anak itu memang ada yang saling diam tidak bertegur sapa karena tidak ada kecocokan. Tidak ada silaturahim lagi. Sangat khas karakter Jerman.

"Aku harus bisa!. Dan aku bisa membatalkannya!." Seru Yasmin dalam hatinya. "Aku istri Timm, aku yang memiliki hak dan aku harus kuat menolong Timm di saat ia akan bertemu Allah." Yasmin mengatakan tegas kepada dirinya sendiri. Yasmin yang sekarang adalah perempuan yang punya kepercayaan diri, bukan yang dulu.

***

"Frau Adler, saya harus menyampaikan sesuatu," kata dokter yang memeriksa kondisi Timm. "Suami anda sudah tidak punya banyak waktu lagi, kemungkinannya, bila tidak malam ini maka esok ia akan meninggal." Dokter menyampaikan berita yang Yasmin sudah menduganya. Dokter mengatakan Yasmin boleh melakukan apa saja yang ia inginkan untuk suaminya di hari terakhirnya.

Yasmin ingin anak-anaknya menemani papanya untuk yang terakhir kalinya. "Taruh tanganmu nak di atas dada ayahmu. Ayo mendekat. Biar papa kalian senang." pinta Yasmin pelan kepada anak-anaknya. Kedua anaknya yang masih kecil-kecil itu kemudian memegang dada ayahnya, menuruti permintaan Yasmin. Ini adalah terakhir kali mereka melihat wajah Timm. Papa yang sangat menyayangi mereka.

***

Beberapa bapak-bapak pengurus Masjid Al Falah Berlin datang membesuk. Mereka membacakan surah Yasin dan mentalqinkan Timm di telinganya. Terlihat Timm yang sudah sangat lemah dan tidak mampu berbicara mengatur nafasnya menunjukkan bahwa ia mengikutinya, seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Tarikan nafasnya memang kembali teratur namun detak jantungnya terus menurun.

***

Yasmin tegar memandangi wajah suaminya di saat-saat terakhir menghadap Allah Subhanahuwata'ala. Ia sendiri. Berada di sisi suami yang sangat ia cintai dan suami yang sangat mencintainya itu. Ia rela!. Ia ikhlas!.

***

"Saya tidak akan turut campur lagi!" seru Michael marah besar di gagang telpon itu. Yasmin sudah mengemukakan permintaannya atas pembatalan dokumen itu. Ia sudah siap dengan risiko yang akan terjadi.

***

Hampir seratus orang sholat Jum'at yang mensholatkan Timm Adler di masjid. Masih ada tiga baris panjang yang mensholatkannya di daerah pemakaman. Hujan gerimis turun menemani barisan sholat itu. Tiap tetesnya diiringi satu malaikat. Yasmin berharap tiap-tiap malaikat itu memintakan ampun kepada Allah untuk suaminya.

***

Banyak pelayat yang menghantarkan Timm ke peristirahatannya yang terakhir. Hanya ada satu pasangan suami istri Jerman yang datang ke pemakaman itu. Ia adalah cucu perempuan Timm, anak dari Michael. Ia datang bersama suaminya. Nampak sekali gambaran kesedihan terbayang di paras mereka yang putih itu. "Saya datang karena saya cinta kakek ...." katanya tulus.

***

Yasmin menatap peti mati yang turun perlahan-lahan, masuk ke dalam tanah pekuburan di Pemakaman Islam Landschaftsfriedhof Gatow. Air matanya sudah tak mampu mengalir lagi….Rintik hujan melayang jatuh melambat seolah memahami kedukaannya… Angin musim dingin berhembus tak bersuara serasa membawa serta pergi separuh belahan jiwanya….

Manusia hidup bersama harta, keluarga, dan amal. Kemudian saat ia kembali kepada Tuhannya, harta dan keluarganya meninggalkannya. Hanya amalnya yang menemaninya menghadap Tuhannya....

***

CERPEN KARYA: Munaya Fauziah, Berlin, 29 Desember 2009, 11:19

Bathtub (Bak mandi)
Die kinder sind mein Wunsch, nicht dein Wunsch
(anak-anak ini adalah keinginan saya, bukan keinginan kamu)
Ich kann nicht beweg. (Saya tidak bisa bergerak).
Nicht wein. (Jangan menangis Nak)
Du Dummschen…darfst auch nicht wein!
(Kamu si Bodoh...juga tidak boleh menangis!)
Danksagung (Ucapan rasa syukur/Syukuran)
Ich bin deine Tochter (Saya adalah anak perempuan kamu)
Ich bin nicht wein (Saya tidak menangis)
Bestatungen (Pengurusan Pemakaman)
ich komme zu dir besuchen (saya datang untuk menjengukmu)
talqin (membaca kalimat syahadah)

2 comments:

  1. Assalamualaikum Wr.Wb..
    Mba Naya, kisah nyatakah? T_T

    ReplyDelete
  2. Oh Lydia sudah baca ya :)Makasih ya gadis manis. Iya Insya Allah begitu.

    ReplyDelete