Wednesday, December 30, 2009

PERTOLONGAN GHOIB

Nun jauh di negeri tanah kelahiran, ibu menatap dunia dengan tatapannya yang terakhir.
Diiringi isak tangis sanak saudara.
Tanpa aku.
Betapa sedih jiwaku, mendengar adik mencarikan orang yang bisa sholat untuk jenazah ibuku.
Orang sudah memasang tarif sebagai pendoa.
Dengan kontrak yang jelas berapa lama dan harganya.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Ditengah kegundahan hati dan kekeluan lidah untuk berkata, Tuhannya ibuku mengirimkan pertolongan yang asing menurut pikirannku.
Atau aku mungkin yang sedang tak mampu berfikir jernih.


Biarkanlah mereka menyolatkan ibumu.
Begitulah suara penyeru yang dikirim dari Tuhannya ibu.
Siapa? Bertanya hatiku yang gundah gulana dan tak menentu.
Mereka? Bagaimana mungkin bisa demikian, amat tidak lazim.
Ibu nun jauh disana sedang mereka ada di negeri ini.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Suara-suara penyeru semakin banyak dan kuat di telingaku.
Aah aku tidak mampu berfikir, Aku tidak mampu banyak berkata, terlalu kelu lidahku.
Terserah saja. Akhirnya aku serahkan pada mereka.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Tuhannya ibuku telah mengirimkan beberapa shaf orang-orang sholat Jum’at yang kemudian melaksanakan sholat ghoib untuk ibuku.
Tak tahu pasti berapa jumlah mereka, karena memang aku tidak pernah datang ke masjid.
Katanya jumlah mereka lebih dari biasanya.
Yang pasti Tuhan ibuku telah menolongnya dengan pertolongan dari jauh,
yang tidak tampak dihadapan manusia di negerinya.


Aku tidak tahu amal apa yang dibawa ibu sebagai bekal.
Tak lama berselang, seorang mantan pembesar negara meninggalkan dunia yang fana di tempat asing. Begitu banyak surat resmi dan seruan untuk mensholatinya.
Namun banyak hati yang tak bergeming karenanya.


Tuhan ibuku, tidak mengecewakan hambanya disaat-saat hamba itu membutuhkannya.
Bertanya aku pada diriku.
Tuhannya Ibuku masihkah dia Tuhanku juga?
Aku sudah jarang sholat bahkan hampir tidak lagi.
Aku sudah lupa dionggokan mana kutaruh mukenaku.
Aku sudah lupa kapan terakhir aku datang ke masjid apalagi pergi mengaji.
Aku sudah menduakan Tuhan Ibuku dengan suami, anak-anak dan berbangga-bangga dengan harta. Aku sudah begitu lama meninggalkan Tuhan Ibuku demi membangga-banggakan rumah, mobil, dan status dunia.


Aku ingin Tuhan ibuku adalah Tuhanku juga.
Harap hatiku, kuingin Tuhan nanti menolongku.
Sekarang aku merenungi diri sendiri.
Aku tidak tahu amal apa yang aku bawa sebagai bekal.


PUISI KARYA: Munaya Fauziah, Berlin, 19 Februari 2008, 04:07

No comments:

Post a Comment