Wednesday, December 30, 2009

SEORANG KADET JERMAN DAN SHOLAT

Berdegub jantung Kak Mariha mengetahui berita itu. „Terlambat!“ kata hatinya. „Apakah tidak ada cara lain untuk menghindari ini?“ ia bertanya kepada suaminya, seorang pria Jerman yang menikahinya secara Islam saat berkerja di Indonesia. „Tidak ada“ Jawab Hartmann. „Tapi dulu kenapa bisa?, Apa masih bisa cari cara yang lain?“ ia bertanya lagi memastikan. „Dulu berbeda, sekarang sudah terlambat, surat itu harus segera dijawab“ katanya.

Kak Mariha mengenang kembali peritistiwa beberapa tahun yang lalu tentang putra pertamanya, anak itu berhasil menghindar dari kewajiban itu karena alasan kesehatan demikian juga, putranya yang kedua dengan alasan yang sama. “Dulu aku jauh-jauh pindah dari daerah Timur ke Barat, supaya aku tidak terkena masalah ini” kata Hartmann dengan suara yang sangat mendalam, “dua anak ku sudah bisa tidak ikut tetapi ternyata sekarang malah Ridho yang kena.” lanjutnya dengan senyum miris.




Suara angin musim dingin menerpa ruang istirahat keluarga Hartmann. Daun-daun terhembus ke udara di balik kaca ruangan. Kak Mariha memandangi daun-daun itu yang bebas melayang-layang ke udara, dihantam derunya angin yang kencang.

“Ya Allah, tolong lah Ridho, bagaimana kalau ia di sana, apa yang akan terjadi padanya, bagaimana dengan sholatnya, hanya Engkau yang bisa menolongnya ” Kak Mariha berdoa dalam hatinya mendoakan anaknya. “Kita tidak tahu situasi di sana nanti” kata Kak Mariha kepada Hartmann. “Bagaimana kalau dia satu-satunya muslim di sana, apakah mereka akan bersikap baik padanya atau tidak?” ungkapnya dengan cemas. „Saya rasa mereka akan memperlakukan semua orang sama.“ jawab suaminya.

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seandainya kita membaca surat itu lebih awal, mungkin bisa cari suatu cara supaya dia bisa menghindarinya” kata Hartmann dengan logat Jermannya “Tapi sekarang sudah terlambat. Anak kita terpaksa harus ikut”.

***

“Loh di situkan tertulis Alcohol Frei“ kata Arif berargumen „jadi boleh dong minum minuman itu!“ lanjutnya sambil melangkah „Enggak!„ jawab Hisyam menyambut kalimat adiknya itu „Walaupun disitu tertulis alkohol frei tetapi dia masih mengandung alkohol beberapa persen“ sambung Hisyam, sambil mendahului berjalan ke depan adiknya „Kita tetap nggak boleh minum itu, haram“ lanjut Hisyam menegaskan.

Di Jerman perusahaan minuman diperbolehkan mencantumkan tulisan Ohne Alkohol atau Alkohol Frei pada minuman yang kadar alkoholnya rendah. Muslim yang tidak mengetahui hal tersebut bisa terjebak ikut meminumnya padahal itu tidak boleh.

Remaja lainnya berjalan susul menyusul ke arah kantin masjid sambil ikut membahas masalah minuman ini. Nampaknya tema halal dan haram menjadi topik menarik dalam kajian Islam kali ini di Klub Remaja Masjid Al Falah Berlin.

Faiza duduk santai. Tugasnya mengajarkan anak-anak membaca Al Qur’an hari ini sudah selesai. Ia memperhatikan dua kakak beradik itu berdiskusi bersama kawan-kawannya. Sedangkan Ridho si bungsu berjalan agak di belakang sambil memperhatikan perbincangan seru itu.

„Alhamdulillah, mereka saling menguatkan satu sama lainnya, di lingkungan seperti inilah mereka bisa saling menguatkan iman“ ucap Faiza dalam hati. Wajahnya tersenyum bahagia, melihat remaja-remaja keturunan campuran itu.

***

“Mama tidak perlu cemas.“ kata Ridho “Mungkin tidak seburuk yang dibayangkan” lanjutnya menenangkan. “Seandainya kamu baca surat itu lebih awal pasti bisa berbeda kejadiannya” kata Kak Mariha menyesalkan. “Iya Ma, tetapi mana Ridho tahu kalau ada surat yang datang, kan mama tahu sendiri kalau waktu itu Ridho sedang liburan di luar kota, dan baru membaca semua surat ketika sudah pulang di rumah” sambung Ridho memberi alasan “Dan jarak surat pertama ke surat keduanya juga dekat jadi tidak bisa di tolak lagi.” katanya. “Kalau begini, kamu bisa terlambat masuk ke universitas” kata Kak Mariha lagi.”Mau bagaimana lagi, itu sudah risikonya” jawab Ridho serius.

Tetapi sebenarnya bukan masalah terlambat masuk ke universitasnya yang benar-benar di khawatirkan Kak Mariha kepada Ridho putra bungsunya itu. Sebenarnya sebagai seorang muslimah yang membesarkan putra-putranya di negeri Jerman, ia lebih mengkhawatirkan bagaimana anaknya nanti bisa melaksanakan kaidah-kaidah sebagai seorang muslim yang baik selama Ridho berada di sana. Ia belum punya bayangan seperti apa tempat itu, ia juga cemas kalau-kalau gemblengan fisik yang akan diberikan kepada anaknya terlalu keras sehingga membuatnya sakit. Bayangan dan perasaan seorang ibu terhadap anak bungsunya mendominasi fikirannya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Anak-anak Kak Mariha memang warga negara Jerman karena suaminya orang Jerman, meskipun demikian ia tetap mempertahankan Indonesia sebagai kewarganegaraannya. Demikianlah bila menikah dengan pria warga negara Jerman, maka otomatis anak yang terlahir akan menjadi warga negara Jerman. Oleh karena itulah anaknya secara acak dipilih oleh negara untuk mengikuti wajib militer.

***

Seperti biasa, Kak Mariha bergerak bangun dari kasur hangatnya di tengah suasana musim dingin di Berlin untuk melaksanakan sholat tahajjud. Anak-anak nya ada dalam daftar prioritas doanya, malam ini ia ingin berdoa khusus yang lebih panjang kepada Allah Subhanahuwata’ala untuk Ridho yang ia sedang khawatirkan permasalahannya.

***

Akhirnya hari itu datang juga. Kak Mariha mengantar Ridho sampai pintu depan rumahnya. Anaknya akan berangkat melaksanakan wajib militer. Matanya terus menatap anaknya sambil berdoa “Ya Allah aku titipkan anakku kepada Mu, lindungilah ia dan mudahkanlah keperluannya.”

***

„Herr Hartmann ini nomor dan kunci kamar anda, kalau anda ada masalah silahkan datang menemui saya.“ kata Herr Schutz kepada Ridho. „Danke, Kapten Schutz!“ sambut Ridho sambil menerima kunci itu. Umumnya di Eropa dan di Amerika seseorang dipanggil dengan nama keluarganya. Herr Schutz adalah Kapten yang bertangung jawab di mess itu tempat Ridho melaksanakan wajib militer.

Ridho mengamati ruang kamar itu, dengan dua tempat tidur bersusun. Ia berada dalam satu kamar dengan tiga kadet lainnya. Ia belum tahu siapa yang akan menjadi teman sekamarnya nanti.

***

“Hai Ridho, loh kok bisa datang ke sini?” Saya dengar kamu sedang ikut wajib militer?“ seru Faiza terheran-heran melihat Ridho hadir di Klub Remaja Masjid Al Falah. Ia sedang bercanda dengan kawan-kawannya sambil menunjukkan kuda-kuda yang benar untuk membela diri kepada kawan-kawannya ketika Faiza bertanya.

Memang setiap hari minggu berlangsung kajian Islam untuk remaja yang disampaikan dalam bahasa Jerman oleh Daniel, seorang muslim Jerman yang diminta oleh pengurus masjid menjadi salah satu pembina di Klub Remaja.

„Iya, saya bisa datang karena setiap Wochenende libur.“ jawabnya dengan wajah gembira sambil kembali berdiri dari kuda-kudanya. „Oh Alhamdulillah, kalau begitu, jadi masih bisa ikut Klub Remaja terus“ sambut Faiza „Ya, Alhamdulillah“ jawabnya senang. „Apa saja sih yang diajarkan kalau wajib militer itu?“ „Apa diajarkan menggunakan senjata dan yang semacamnya?“ tanya Faiza mengejar. „Tidak sampai ke situ“ jawabnya sambil dikelilingi teman-temannya. „Cuma ini...ini...“ ia memeragakan dengan tangannya rupanya ia lupa kosa kata dalam Bahasa Indonesianya. „Oh merakit senjata!“ seru Faiza. „Iya.“ sambungnya.

Terlihat pancaran wajah kawan-kawannya yang penasaran sedang menunggu-nunggu cerita Ridho dengan pengalaman-pengalaman barunya saat wajib militer „Kami diajarkan baris-berbaris, tehnik-tehnik membela diri, dan macam-macam lagi“ katanya melanjutkan. „Berapa lama wajib militernya?“ Faiza kembali bertanya „Satu tahun“ katanya. „kalau sekarang jadi sudah berapa lama?“ Faiza lanjut bertanya „Kalau sekarang sudah 3 minggu“ jawabnya. Sebetulnya banyak sekali yang Faiza ingin perbincangkan namun ia tidak ingin menyela lebih lama rasa penasaran kawan-kawan Ridho yang sedang menunggunya dan segera menyelesaikan tanya jawab itu. „Mudah-mudahan kamu baik-baik ya di sana, salam buat mama.“ Kata Faiza mengakhiri pembicaraan. „ Terima kasih, nanti saya sampaikan“ jawab Ridho dengan senyumnya.

***

Faiza mengambil gagang telpon. „Halo, Hartmann“ suara di seberang saya menyapa. Di Jerman biasanya seseorang yang menjawab telpon setelah menggunakan kata sapa akan menyebutkan nama keluarga. „Guten Tag!, Ich bin Faiza, darf ich vielleicht mit Kak Mariha sprechen?“ sambut Faiza menjawab suara sapaan dari gagang telpon itu. „Ein moment“ lanjut suara itu.

Faiza menduga itu pasti suara Pak Hartmann, suaranya terdengar ramah. „Halo Faiza, apa khabar?“ sapa Kak Mariha hangat. “Baik Kak Mariha, Alhamdulillah” jawab Faiza “Kak Mariha sendiri bagaimana?” Faiza balas bertanya “Ya beginilah Kak Mariha banyak pekerjaan maklum sedang renovasi rumah.” katanya sambil tertawa renyah.“ “Yang penting Kak Mariha sehat” kata Faiza „Saya lihat Ridho di Klub Remaja minggu ini, bagaimana dengan Ridho di wajib militernya Kak Mariha? Faiza bertanya terus terang.

Pertanyaan Faiza itu membuat Kak Mariha sedikit terdiam hanyut dalam perasaannya. Kak Mariha teringat peritiwa minggu-minggu lalu itu. “Begini Faiza….” Kak Mariha menarik nafasnya dalam-dalam dan mulai bercerita.

***

“Kring,” suara bel pintu nyaring. “Kak Mariha segera berjalan ke arah pintu dan melihat melalui lubang kecil di pintu, untuk mengetahu siapa yang datang. Rata-rata rumah di Jerman terdapat lubang kecil berlapis kaca di pintu depannya sehingga penghuni rumah dapat melihat sedikit melalui lubang itu siapa yang datang sedangkan tamu yang dari luar tidak dapat melihat ke dalam. “Hah bertopi dan berpakaian serba hijau!” serunya dalam hati. Ia menduga-duga, “ini pasti bukan tukang pos atau pengantar paket“ ia mengamati lagi seragam orang itu „seperti polizei”, ada masalah apa seorang polizei mengebel rumahnya? Hatinya bertanya-tanya.

Kak Mariha membuka pintu dan menatap sesosok wajah yang sangat ia kenal.„Hah!, Ridho!!, Mama sangka kamu polizei!“ Seru Kak Mariha kaget dan gembira. Melihat sosok tegap di depan pintu rumahnya.„Wah kamu pakai seragam keren sekali nak!“ katanya sambil memperhatikan dengan detil pada penampilan anak bungsunya itu. „Pa lihat siapa yang datang!“ seru Kak Mariha kepada suaminya. Rupanya Ridho pulang dengan seragam untuk membuat kejutan.

“Bagaimana perjalanan mu Nak waktu pulang tadi ?” tanya Kak Mariha.“Tadi waktu Ridho naik Bus pulang, ada seorang nenek memperhatikan Ridho dalam-dalam“. Ia mulai bercerita tentang pengalamannya dengan baju tentaranya itu „Kelihatan wajah nenek itu merasa aman sekali, karena dia pikir ada tentara di dekat dia“ katanya sambil tersenyum-senyum, „jadi ia merasa aman. Padahal Ridho pikir kalau nenek itu tiba-tiba pingsan kena serangan jantung, Ridho juga nggak tahu harus bagaimana“ ceritanya kemudian tertawa, kontan semua jadi tertawa geli mendengarnya.

Apakah ada muslim juga di sana yang ikut wajib militer? Tanya Hisyam. „Ada tiga orang“ jawabnya „tapi mereka minum bir, merokok dan nggak sholat“ jawab Ridho.

Memang untuk mempertahankan aqidah di negara seperti ini sangat berat. Apalagi untuk pemuda-pemuda yang merasa tertekan di rumah. Mereka ingin merasa bebas dan bergaul melepaskan diri namun kebablasan sampai lalai dari aturan-aturan agama sehingga akhlaknya sudah tidak bisa lagi menunjukkan bahwa dia seorang muslim. Padahal akhlak seorang muslim adalah pancaran tingkat keimanannya.

“Lantas bagaimana kamu sholat disana?” Sekarang Arif yang bertanya. “ Ya, hari-hari pertama sholat di kamar itu” jawab Ridho. “Tapi kamarnya tidak bersih” lanjutnya “Kami sekamar berempat dan mereka ada yang minum bir, ada yang merokok, dan banyak sepatu. Padahal sajadah untuk sholat di pasang di lantai.” “Mereka tidak heran kamu sholat?” tanya Kak Mariha. “Mereka mungkin awalnya heran, merasa aneh. Tapi mereka tahu saya muslim dan saya harus sholat.” Jawab Ridho “Cuma lama-lama saya tidak nyaman juga dengan ruangan yang seperti itu, bau minuman keras dan rokok” lanjut Ridho. “Jadi Ridho tunggu dulu, cari waktu yang tepat mau bicara sama Kapten.”

Semua hening mendengarkan cerita Ridho tadi dan ingin sekali mengetahui kisah selanjutnya. “Ridho meminta termin (jadwal) bertemu dengan Kapten Schutz. Ridho bilang ke Kapten Schutz bahwa saya seorang muslim, saya tidak minum, saya tidak merokok, saya perlu ruang khusus yang bersih untuk melakukan sholat.” Ridho memaparkan kisahnya

“Kemudian setelah berdialog, kapten itu menyetujui dan menyediakan satu kamar khusus untuk Ridho, jadi Ridho satu-satunya kadet di sana yang punya satu kamar sendiri. Bisa sholat dengan tenang dan bersih.” lanjutnya.

Kak Mariha sangat terharu akan kisah putra bungsunya itu. Air matanya mulai berlinang karena bahagia. Seperti bermimpi tetapi ini kenyataan. Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa anak bungsunya itu mempunyai keberanian yang luar biasa. Di tempat di mana Islam menjadi minoritas, di negara yang sekuler, di tengah sistem pendidikan militer, putra bungsunya berani menghadap kepada kaptennya dan meminta ruang khusus agar bisa sholat menjalankan perintah Allah. „Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau sudah melindungi anakku dan memudahkan ibadahnya.“

„Mama sekarang Ridho jadi orang terkenal di sana, semua orang tahu Ridho muslim, mereka respek sama Ridho“ katanya dengan bangga. „Ridho satu-satunya di sana yang punya kamar sendiri.“

***

„Ridho berani Faiza!, Dia bilang sama kaptennya!“ ujar Kak Mariha kepada Faiza di gagang telpon sambil terisak-isak. Faiza pun ikut hanyut terharu dan meneteskan air mata bangga. „Alhamdulillah Kak Mariha, Alhamdulillah“ kata Faiza menyambut.

„Ia akan menjadi contoh teladan bagi kawan-kawan lainnya di Masjid Al Falah agar tetap bangga dengan keislamannya dimanapun berada“ bisik Faiza dalam hatinya.

Saat itu cahaya seolah menghiasi relung-relung hatinya yang meluas. Faiza sujud bersyukur dan ingin sekali menceritakan kepada dunia bahwa dari Masjid Al Falah Berlin ada seorang remaja yang sangat berani dan bangga menunjukkan keislamannya di tempat seperti itu. Ini adalah pancaran dari akar keimanan yang kokoh dari sosok seorang remaja.

„Ridho semoga Allah Subhanahuwata’ala menjaga keimananmu dan memudahkan semua urusanmu“, bisik Faiza mendoakan. „Satu kamar khusus dan keterkenalanmu yang engkau peroleh hanya hadiah kecil dari Allah Subhanahuwata’ala atas keberanianmu menegakkan sholat di sana. Allah menaikkan derajatmu karena sholatmu dan masih menyimpan banyak hadiah lain untuk dirimu yang tidak engkau ketahui saat ini yang telah dipersiapkanNya.“ Faiza mengambil nafas dalam-dalam.
“Tetaplah tegakkan sholat wahai anakku!!” kalimat ini menjadi melodi indah dalam hatinya.

***

CERPEN KARYA: Munaya Fauziah, 27 Desember 2009

Alkohol Frei (Bebas Alkohol)
Ohne Alkohol (Tanpa Alkohol)
Wochenende (Akhir minggu)
Polizei (Polisi)
Kadet (Prajurit)
Herr (Pak / Tuan)
Guten Tag! (Selamat Siang!)
Ich bin Faiza (Saya Faiza)
darf ich vielleicht mit Kak Mariha sprechen?
(Bisa saya bicara dengan Kak Mariha?)
Ein Moment (Tunggu sebentar)

1 comment: