Wednesday, December 30, 2009

MANG BEBEN


Brak!! Pintu itu roboh. Jendela hancur. Dia sedang membuat kerusakan lagi di kampung. Bukan cuma di kampung ini saja dengan kasar dan kekuatannya itu membuat keributan dan kerusakan tetapi juga di kampung lain. Bersama dengan kawan centengnya bisa habis sebuah desa dibabat tanpa mampu melawan.

Tuan Gusti marah besar, karena banyak kuli nya tidak cakap kerja. Kalau sudah begitu, pasti dia kirim centeng-centeng ke kampung untuk sekedar kasih peringatan atau bahkan hukuman. Lebih parah lagi kalau dia kirim centengnya yang paling ditakuti.

„Kenapa dia datang kepada kita Pak?“ Kita tidak punya salah apa-apa, apa dosa kita pak sama Tuan Gusti, sampai dia kirim centeng itu ke kampung ini“ kata Mak Tuo.

„Entah lah “ jawab Pak Tuo hampa, badannya limbung setelah terkena dorongan yang sangat kuat, mencoba berdiri sambil memandangi tokonya yang hancur. Matanya kosong menatap keadaan, bingung hendak kemana. Sedang rumah mereka juga sudah habis dirusak.

Untunglah Pak Tuo masih punya tabungan untuk modal membangun kembali rumah dan tokonya. Tapi bagaimana nasib orang-orang yang mengalami keadaan serupa dengan Pak Tuo tapi tidak punya apa-apa. Mereka hanya bisa meratap dan menangis sambil menahan derita ketakutan kalau hal serupa terulang kembali.




„Ada Mang Beben“...“Ada Mang Beben“. Orang-orang lari ketakutan sejauh-jauh mereka bisa berlari. Rumah-rumah rusak. Kendaraan hancur. Dahan-dahan tumbang dan tanaman tercabut dari akarnya. Bumi terasa sangat bergoyang bagi banyak orang. Begitulah memang kalau Mang Beben dan centeng-centeng itu beraksi. Semua tidak bisa utuh lagi. Tidak ada yang bisa protes apalagi demontrasi. Sudah banyak korban yang patah tulangnya dan berdarah-darah. Tak terbilang yang memar dan luka-luka. Nyawapun seperti tidak punya arti. Mang Beben punya kekuatan penuh untuk membuat semua orang tidak berdaya. Semua dilibas tidak peduli siapa korbannya, tua atau muda, suami atau istri, anak-anak atau pasangan yang baru akan menikah, Mang Beben seperti tidak punya hati.

Orang banyak mengutuk Mang Beben tapi cuma di dalam hati, tidak berani menyampaikannya apalagi dengan terbuka.

„Ayo kita bantu mereka, orang-orang di sana sedang kena musibah. Mereka butuh pertolongan kita segera, kalau tidak akan lebih banyak korban! Tuan Gusti mengirim Mang Beben ke sana.“ kata Pak Cik.

„Hei buat apa kita bantu mereka, biarkan saja mereka kena batunya, kalau jadi kuli tidak cakap kerja. Anak muda mereka itu buat perkara dengan anak muda kita, sampai anak muda kita ditangkap polisi.“ jawab Mak Cik menimpali.

„Tapi Mak Cik ini bukan perkara polisi ini perkara Mang Beben, dia lebih kuat dari polisi.“ sambung Pak Cik.

Begitulah reaksi orang-orang di negeri jiran. Mereka, ada yang ingin membantu tetapi ada juga yang tidak mau menolong bahkan menganggap itu hal biasa jika Mang Beben memang begitu.

Tindakan Mang Beben kali ini bukan yang pertama kali masuk ukuran keterlaluan. Kabar ini terdengar juga ke kota-kota diluar kampung. Banyak media masa meliput bahkan negara-negara tetangga juga menyebarluaskan berita yang sama. Semua menyorot rusaknya kampung dan banyaknya korban. Masing-masing orang punya reaksi dan pendapat sendiri walaupun ada juga yang tidak tahu, tidak peduli atau bahkan tidak mau tahu karena itu bukan urusannya.

Mang Beben memang menjadi fenomena. Di tengah aksinya yang tidak punya belas kasihan itu, banyak orang, ormas dan partai yang pro dan kontra pada nya, ada yang mendompleng atau sekedar ikut nebeng sebagai kesempatan untuk mencari perhatian massa dan mencapai popularitas tertentu.

Partai Hitam menyumbangkan seluruh gaji pertama anggota dewannya yang terhormat untuk membantu korban Mang Beben. Sedang Partai kuning mengumpulkan dana 9,6 milyar dari semua kader, katanya untuk disalurkan ke orang-orang yang menderita akibat Mang Beben. PartaiBiru tidak punya komentar tentang sumbangan dari partai lain itu, katanya itu kebijakan mereka bukan kebijakan partainya. Semua berlomba-lomba memenuhi media massa untuk memenuhi berita halaman pertamanya.

Tidak cuma di dalam negeri reaksi ini muncul, tetapi juga di luar negeri. Berita Mang Beben masuk ke CNN, televisi-televisi Eropa, koran-koran dan sebagainya. Seorang ibu rumah tangga di negara lain yang sedang menyambut musim dingin dengan menyiapkan baju-baju hangat untuk keluarganya terpekur melihat beritanya di teve. Banyak juga ormas-ormas agama yang segera menggalang dana untuk korban dengan berbagai misinya masing-masing. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atas nama korban Mang Beben juga mengajukan proposal bantuan dana ke pendonornya. Belum bantuan luar negeri yang banyak datang bersamaan dengan kepentingan politis negara yang mengirimnya. Seniman dan musisi juga tertarik membuat pentas untuk menolong. Cuma untuk korban Mang Beben kata mereka.

„Yuli...Yuli. .. kamu sudah lihat berita, lihat ini di halaman pertama. Ada kampung dirusak Mang Beben, dia beraksi lagi.“ kata Retno.

„Masa iya. Tapi khan memang sudah sering Mang Beben beraksi. Di kampung-kampung lain juga pernah. Sudah lah tidak usah pusing, sudah ada yang akan bantu korban-korban itu“ jawab Yuli cuek sambil meminum bir yang kata iklannya bebas alkohol, padahal tidak.

„Dasar kau ini! Buang botol mu itu.“ seru Retno kesal, „Ayo cepat kita harus kerja yang bagus, kalau tidak aku cemas kalau-kalau nanti Mang Beben datang ke sini karena kerja kau yang kurang bagus.“ sambil terus marah Retno menyambung „Bisa lupa kau akibat dari Mang Beben, kalau kau cekek botol itu terus, bisa-bisa aku juga kena batunya karena kau.“

Begitulah sebagian beranggapan Mang Beben bisa tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan pada kuli-kuli yang tidak cakap bekerja. Banyak yang tidak peduli kalau mereka penyebab tidak langsung datangnya Mang Beben dengan dosa kemalasan dan dosa kelalaiannya. Yang lainnya menyalahkan kawannya, karena salah kawannya bisa jadi Mang Beben datang tiba-tiba. Tetapi tidak ada yang tahu bilamana tiba-tiba Mang Beben datang, mungkin saat mereka masih bertengkar.

Sebetulnya bukan tidak pernah ada yang mencoba mencegah datangnya Mang Beben. Kekuatan Mang Beben pun juga sering diukur-ukur oleh banyak orang. Berapa besar dia membawa kawan-kawan centeng bersamanya. Bahkan ilmuwan dari luar negeripun berdatangan hanya untuk memperkirakan berapa jangkauan tangan Mang Beben mampu merusak rumah dan gedung. Bukan cuma itu seberapa besar kekuatan pukulan lengannya mampu merontokkan apa yang dikenainya. Seberapa meter persegi kerusakan yang dihasilkan Mang Beben dan kawan centengnya juga sudah banyak di data dan dianalisa. Mang Beben memang sudah lama menjadi subyek penelitian oleh para mahasiswa. Tidak sedikit diantaranya meraih gelar master dan doktor. Tetapi kalau orang-orang itu diminta berhadapan langsung dengan Mang Beben pasti tidak mau. Mereka sudah hilang nyali lebih dulu.

Jika dipikir-pikir rupanya Mang Beben bukan hanya tidak punya hati dan membuat banyak orang menjadi susah, tetapi juga bagi sebagian orang lainnya ternyata ia bermanfaat. Lihatlah sendiri oplah koran meningkat karena meliput beritanya, karena orang-orang ingin mengetahui apakah ada saudaranya yang menjadi korban. Saluran televisi menjadi ramai ditunggu orang khususnya berita mengenai Mang Beben. Para politisi bisa mengharumkan namanya dengan berita membantu penderitaan korban. Organisasi masyarakat jadi punya alasan untuk mengumpulkan sumbangan, entah sumbangan itu sampai atau tidak. Pihak asing bisa memasukkan agenda politiknya. LSM dapat kucuran dana dari donor agency karena proposalnya apakah itu dana untuk penyediaan antiseptik atau pendirian WC darurat atau apa yang lainnya. Mungkin juga akan lebih banyak beasiswa bagi mahasiswa yang ingin meneliti kekuatan dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh Mang Beben.

Melihat sejarah Mang Beben, sudah banyak kampung yang dirusak. Kampung paling Barat adalah pengalaman kampung yang paling hancur sehancur-hancurnya. Konon khabar, di kampung Barat kuli-kuli paling jahat ada di sana, sehingga Mang Beben datang membawa kawan-kawan centeng yang jumlahnya luar biasa banyak untuk datang dan merusak sekaligus semuanya. Sebagai peringatan! Atau bisa jadi hukuman! Kampung Tengah juga hancur, yang ini lain cerita, kuli disana walaupun orang-orangnya baik dan lemah lembut tapi lambat-lambat kerjanya. Setelah Mang Beben pergi ada musisi terkenal membuat pentas untuk menghibur korban yang menderita akibat Mang Beben. Tetapi para korban malah sempat menyediakan makanan-makanan enak untuk menjamu para musisi tadi meskipun sedang menderita. Di kampung Timur Mang Beben juga membuat kerusakan besar karena kuli-kulinya tidak mau bekerja sesuai perintah. Parah! Kuli tidak nurut sama majikannya.

„Mang Beben...Mang Beben...Mang Beben...“ Orang banyak menyebut-nyebut namanya. Namun Mang Beben tidak peduli, berapa kali namanya masuk berita ataukah dia sedang dihujat orang. Dia selalu siap untuk dikirim ke kampung-kampung manapun baik jauh ataupun dekat. Baginya yang penting adalah menjalankan tugas sesuai perintah, karena dia melakukannya juga sebagai kuli.

Sebenarnya kalau mau jujur negeriku ini disebut orang sebagai negeri Atlantis yang hilang. Semua kekayaan alam tersedia untuk diolah. Sinar matahari menerpa setiap musim. Angin yang bertiup tidak membuat orang kedinginan. Ikan-ikannya dilautan siap untuk dipanen kapan saja. Jutaan plasma nutfah masih bersembunyi di pelosok-pelosok daerah, menunggu untuk dieksplorasi oleh warga. Namun kebanyakan warganya dari kampung Barat sampai Kampung Timur adalah kuli. Sehingga perlu Mang Beben untuk membuat mereka bekerja rajin.

Kalau saja warga mau belajar dari peringatan dan hukuman yang sudah dibuat sama Mang Beben, pasti situasinya akan berbeda jauh. Warga akan jadi lebih cakap bekerja, tentu saja ini akan membuat Tuan Gusti senang sehingga bisa memberi banyak bonus buat kuli-kulinya.

Mang Beben melibas satu kampung, seperti biasa orang disana menderita. Mang Beben cuek sambil terus berlalu.

Berlin, 9 Oktober 2009
Cerpen Karya: Munaya Fauziah

Mang Beben = Gempa
Tuan Gusti = Gusti Allah

No comments:

Post a Comment