Wednesday, February 10, 2010

FISIK MU MEMANG SUDAH TUA TETAPI HATI MU TIDAK !!

...

"Bu Raniyah, apa khabar?" tanya Salma di gagang telepon. "Baik," jawab Raniyah, "Saya mau pesan 30 risoles untuk hari Kamis dua minggu lagi! Untuk kawan kerja lama saya yang mau pesta ulang tahun," pesan Raniyah kepada suara di seberang. "Alhamdulillah, nanti Kamis dua minggu ke depan saya kirim," sambut Salma senang.

"Bu Raniyah, kapan mau datang ke masjid?" tanya Salma lagi. "Waduh, saya malu ke masjid! Saya tidak bisa mengaji," jawab Raniyah. "Tidak apa-apa Bu, justru kita ke masjid supaya bisa mengaji," kata Salma menanggapi. "Datang saja Bu Raniyah hari Selasa jam 10:00 pagi, saya juga ada di masjid," sambung Salma.

Raniyah memang ada keinginan untuk belajar mengaji. Tetapi ia malu. Ia sudah tua, setahun lagi sudah kepala tujuh umurnya. Bagaimana ia bisa belajar? Dirinya menganggap ia pasti yang paling bodoh di sana nanti. Sampai sekarang pun ia belum bisa sholat. Semua bacaan sholat sudah hilang dari kepalanya. Cuma Qulhu Allahu Ahad, Al Falaq dan An Nas yang ia ingat karena sebelum tidur sering ia baca. Beberapa tamu dari Indonesia yang menginap di rumahnya di Berlin terkadang meninggalkan buku bacaan sholat atau buku pelajaran agama. Raniyah memang membuka buku itu dan mencoba untuk menghafal tapi ia tidak bisa membaca huruf Arab hanya bacaan dalam tulisan Indonesianya.


***

Selasa pagi, dirumah Salma. Ia sudah siap berangkat ke pengajian ibu-ibu di masjid Al Falah Berlin. Tangannya meraih gagang festnet. Nomor festnet rumah Raniyah sudah terekam di ingatannya.

"Bu Raniyah, selasa kemarin saya tunggu di masjid, ibu kok tidak datang?," tanya Salma. "Oh iya, saya ada termin," jawab Raniyah mengelak. "Saya yang penting ingin bisa sholat saja," lanjut Raniyah "Kalau bisa saya belajarnya sendiri saja tidak bareng dengan ibu-ibu yang lain," Raniyah memberi syarat. Salma memahami permintaan Raniyah, "Nanti saya bilang sama Mina, kalau Bu Raniyah mau belajar privat," sambut Salma.

Raniyah sudah lama sekali tidak melaksanakan sholat. Alasannya terlalu sibuk bekerja menjadi perawat di rumah sakit di Berlin. Namun ia sadar bahwa sholat adalah yang paling penting dalam agama oleh karenanya ia meminta agar diajarkan sholat terlebih dahulu. Ia ingin bisa sholat dengan baik di sisa umurnya selama ia diberi kesempatan.

Sekali lagi, jari jemari Salma menari-nari di atas nomor festnet.

"Mina, ada kawan saya Bu Raniyah, dia mau belajar mengaji privat," Salma serius berbicara pada Mina melalui festnet, "Tapi dia mau belajar sholat dulu, mungkin nanti juga belajar membaca Al Qur'an," Salma melanjutkan penjelasannya. "Bisa kamu mengajar dia Mina?," pinta Salma. "Insya Allah bisa, kalau tidak dengan saya juga bisa dengan guru-guru yang lain," jawab Mina ramah. "Tapi Bu Raniyah nggak mau ganti-ganti guru," lanjut Salma. "Baik, nanti akan saya bicarakan dengan guru-guru yang lain," lanjut Mina. "Saya akan kabari lagi ke Bu Salma ya, terima kasih banyak sebelumnya," sambung Mina menutup pembicaraan.

***

Mina sedang padat dengan jadwal mengaji ibu-ibu. Masih ada kawannya yang lain yang masih agak luang jadwalnya sehingga kemungkinan untuk bisa diminta untuk mengajar privat Raniyah.

Siang itu selesai pengajian Mina sempat bertemu dengan beberapa ustadzah di masjid. Segera ia membicarakan keinginan Raniyah tersebut.

"Bagaimana dengan Bu Raniyah, siapa yang bisa mengajar beliau? Kebetulan saya sudah banyak jadwal dalam satu minggu," tanya Mina pada mba Inas dan mba Yumna. Mereka juga ustadzah-ustadzah yang biasa membina ibu-ibu di masjid Al Falah Berlin. "Saya sendiri cenderung memlih mba Fahima, saya melihat waktunya masih agak luang," lanjut Mina. "Oh kalau begitu, Bu Raniyah bisa belajar kepada mba Fahima, sepertinya memang waktunya masih agak longgar untuk privat," sambung mba Yumna. "Iya itu bagus, mba Fahima kelihatannya memang masih bisa," sambut mba Inas menyetujui.

"Baiklah kalau begitu, saya akan menyampaikan kepada Bu Salma dan saya meminta tolong kepada mba Yumna untuk menyampaikannya berita ini kepada mba Fahima," kata Mina.

***

Salma menelepon lagi Raniyah. Ia belum menanyakan ke mana pesanan risoles itu harus diantarkan. "Halo, Bu Raniyah, ke mana saya antar risolesnya?" tanya Salma. "Antar ke rumah saya saja. Nanti kawan saya akan menjemput," jawab Raniyah.

Bagi Salma menanyakan tentang risoles memang penting, akan tetapi masih ada yang lebih penting lagi. Salma ingat, ustadzah di masjid pernah mengatakan bahwa menyampaikan kebaikan kepada seseorang dan orang tersebut melaksanakan kebaikan yang diserukan tadi maka yang menyampaikan akan mendapatkan pahala yang sama dengan yang melaksanakan tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakan. Salma ingin sekali Bu Raniyah mendapatkan hidayah melalui dirinya. Salma ingin mendapatkan pahala itu.

"Bu Raniyah bisa belajar privat sama mba Fahima, ini nomor teleponnya," kata Salma menyampaikan informasi dari Mina. "Pokoknya saya tidak mau ganti-ganti orang yang mengajar saya," pinta Raniyah pelan. "Saya sudah tua, kalau ganti-ganti orang yang mengajar, nanti saya pusing," katanya menjelaskan. "Kalau bisa gurunya yang sabar, maklum saya sudah pikun," harapnya lanjut.

Raniyah merasa khawatir apakah ia masih mampu belajar atau tidak. Sebetulnya ia merasa agak tidak nyaman, ia kurang percaya kepada dirinya sendiri. Ia memandangi tulisan tangannya, berjejer rapi angka-angka nomor telepon itu. Banyak yang melintas di benaknya. Bagaimana penerimaan guru itu nanti terhadap dirinya. Bagaimana sikap ibu-ibu pengajian yang pasti sudah bagus-bagus bacaannya itu nanti, yang mungkin akan juga bertemu dan mereka tentu saja sudah banyak juga ilmunya. Sementara ia tidak mengenal dekat siapa-siapa kecuali mungkin Salma yang biasa ia pesankan risoles atau panganan kecil lainnya.

Namun demikian Raniyah merasa tidak enak sekali pada Salma. Salma sudah berkali-kali meneleponnya. Sampai tiga kali!!. Salma sudah memberikan perhatian kepadanya sampai akhirnya Raniyah mendapatkan nomor telepon yang berada di hadapannya sekarang. Rasanya sangat tidak enak dan tidak berterima kasih kalau ia tidak menghubungi nomor telepon itu.

***

Malam hari di Wohnzimmer rumah Mina.

"Bu Salma, bagaimana khabarnya Bu Raniyah, apakah sudah menghubungi mba Fahima?" tanya Mina ingin memastikan. "Sudah!, Katanya akan mengaji di rumah mba Fahima hari Kamis sore," jawab Salma bersemangat. "Alhamdulillah kalau begitu, terima kasih banyak Bu Salma" lanjut Mina dengan gembira.

***

Sekali dua kali Mina melihat Raniyah membaca Iqro di masjid didampingi mba Fahima. Ketika itu mereka sedang janjian untuk belajar di masjid saja. Perempuan tua itu penuh semangat mengeja satu satu huruf demi huruf. Senang sekali Mina melihat suasana itu. Baru pertama kali Mina melihatnya. Sebelumnya Raniyah memang tidak banyak bergaul dengan orang Indonesia di Berlin, hanya beberapa kawan lama sesama perawat dari Indonesia yang seangkatan dengannya.

Terlihat tubuh besar Raniyah yang sudah tidak bisa tegak sempurna karena usia. Putih abu-abu sudah menghias kepalanya yang terlihat dibalik kerudung empat persegi yang panjang. Kakinya juga sudah tidak mampu bila harus berdiri lama menopang tubuhnya, bagusnya, bila berjalan kaki itu mampu menopang lebih lama. Sehingga meskipun sudah tua Raniyah biasa pergi sendiri ke tempat mana saja yang ia perlukan, asalkan tidak pada musim salju terutama bila salju sudah menjadi es yang licin.

Musim dingin 2007 menjadi saksi perjuangan perempuan tua itu mempelajari kembali amalan-amalan agama Islam. Bu Raniyah memang sudah senja, tetapi ia sangat mandiri dan sehat. Tidak banyak keluhan penyakit darinya kecuali kaki yang menurutnya sudah agak berat. Ia tidak mau berjalan dipapah orang lain. Ia masih mampu berjalan dengan gagah meskipun agak membungkuk.
Kemauan kuat dari hatinya nampak terlihat dari cara ia belajar. Ia adalah perempuan tua yang cerdas. Fisiknya memang sudah tua tetapi hatinya tidak pernah tua untuk semangat mempelajari dan mengamalkan Islam.

Raniyah merasa nyaman berada di masjid. Kekhawatirannya yang dulu tidak terbukti. Ia merasa semua orang menerimanya dengan baik dan semua mendukung dirinya untuk lebih bersemangat belajar. Bahkan ia menjadi contoh untuk memotivasi orang-orang lain yang lebih muda usianya. Raniyah merasa bahagia bisa berkumpul mendengarkan ceramah dan mengkaji ilmu agama dengan sesama orang Indonesia di masjid Al Falah Berlin.

***

Sore hari di Selasa musim dingin 2007. Semua ibu sudah pulang selepas pengajian. Tidak ada orang lain di masjid hanya Mina dan Raniyah. Mereka berdua mengerjakan sesuatu keperluannya masing-masing sehingga sampai maghrib belum bisa pulang ke rumah. Dalam ruangan bercat putih dengan lantai berlapis teppich (karpet) berwarna hijau, Raniyah sedang duduk bersandar ke Heizung (pemanas ruangan), ketika Mina menghampiri dan mengajaknya sholat maghrib.

"Ayo Bu Raniyah kita sholat maghrib berjamaah?," ajak Mina lembut. "Saya belum bisa sholat," kata Raniyah terus terang. "Loh Bu Raniyah kan sudah diajarkan oleh mba Fahima," bujuk Mina lanjut sambil duduk mendekat. Mina merasa terkejut dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh, apa mungkin Raniyah belum percaya diri untuk sholat berjamaah.

"Tidak ah!" katanya dengan suara pelan, mengelak. "Saya belum sampai ke belajar sholat, kata Fahima saya belajar Iqro dulu, kalau sudah lancar, baru belajar bacaan sholat, supaya bacaan sholatnya tidak salah-salah." Raniyah menjelaskan dan tidak beranjak dari sandarannya. "Saya belum bisa bacaan sholat," lanjutnya dengan wajah sedih yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Melihat wajah Raniyah yang sedih, Mina memahami bahwa sebenarnya Raniyah ingin segera bisa mengamalkan sholat. Itu adalah tujuan utama ia belajar karena sholat adalah yang pertama kali di pertanyakan di hadapan Allah. Mina akan berhutang besar, bila ia tidak segera mengajarkan sholat kepada perempuan tua itu karena Mina merasa Raniyah adalah amanah Allah kepadanya. Mina ingat pesan yang disampaikan oleh Salma kepada dirinya.

Mina ingin konsep sholat menjadi sangat-sangat mudah untuk di jalankan oleh Raniyah semampu orang tua itu. Perbaikan menuju kesempurnaan sholat bisa dipelajari kemudian sambil berjalan dengan waktu. Mina merasa harus segera membesarkan hati perempuan tua yang nampak sedih itu.

Mina melihat jam dinding yang menempel setia di dinding atas pintu antar ruang di masjid. "Masih ada waktu," bisiknya dalam hati, "Tidak apalah pulang agak malam hari ini," Mina memutuskan untuk mengajarkan Raniyah sholat.

"Sholat itu mudah kok Bu, dimulai dengan Allahu Akbar dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum," Mina mulai memotivasi Raniyah. "Kalau gerakannya tentu ibu sudah bisa kan...?" Mina mencoba menggali seberapa dalam pengetahuan Raniyah. "Kalau gerakannya saya bisa..." jawab Raniyah.
"Kalau begitu sholatnya jadi lebih mudah lagi karena ibu sudah bisa gerakan-gerakannya," sambung Raniyah bersemangat. "Iya, saya nggak bisa bacaannya, apa lagi yang panjang-panjang, sudah lupa semua," katanya.

"Bu Raniyah pasti sudah bisa Al Fatihah kan?," tanya Mina halus, tangannya mengelus-elus bahu Raniyah. "Ya, saya bisa," Raniyah menjawab dengan tegas. "Berarti ibu sudah bisa salah satu rukun sholat!," sambut Mina meyakinkan Raniyah bahwa Raniyah sebetulnya sudah satu tahap lebih mampu untuk sholat. Raniyah mengamati wajah Mina dan memperhatikan kalimat-kalimatnya.

"Bacaan rukun sholat yang lain adalah bacaan At Tahiyat Awal dan At Tahiyat Akhir yang intinya shahadah dan sholawat nabi. Shahadah dan sholawat nabi, Bu Raniyah juga pasti bisa!," kata Mina dengan intonasi suara bersemangat, mencoba meyakinkan. "Shahadah itu yang bacaannya, Asyhadu anlaa ilaahaillallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah," kata Raniyah memastikan. "Betul ibu," sambut Mina lebih bersemangat lagi, sembari mengacungkan dua jempol tangannya. Mina ingin menularkan juga semangat itu pada Raniyah.

Mina melihat ada perubahan pada raut wajah Raniyah. "Sholawat itu yang, Allohumma sholli 'ala Muhammad, ya?" tanya Raniyah lanjut memastikan, "Ya Bu Raniyah betul, tetapi membacanya sampai akhir," jawab Mina lembut dengan tetap bersemangat sambil mengacungkan dua jempol tangannya lagi.

Sebetulnya Mina sangat berhati-hati sekali dalam berucap dan mengatur intonasi suaranya kepada Raniyah. Ia khawatir kalau berbicara dengan suara keras Raniyah bisa salah menangkap maksudnya atau bahkan dalam hati bisa saja tersinggung dan kalau berbicara pelan pun mungkin Raniyah juga kurang mengerti. Mina juga takut kuwalat terhadap orang tua.

Mina mencoba bersikap yang terbaik menghadapi secara psikologis orang tua ini. Di hadapannya sekarang adalah orang tua yang ingin kembali kepada Allah dengan penuh semangat, tetapi mungkin kecewa kepada dirinya sendiri yang dirasa lambat dalam menangkap pelajaran karena sudah tua dan memang merasa terlambat belajar. Jikalau salah menghadapinya kemungkinan besar bisa patah arang.

"Kalau yang rukun sholatnya ibu sudah bisa, berarti ibu sudah sah sholatnya," lanjut Mina menjelaskan. "Berarti selama ini sebetulnya ibu sudah bisa sholat!!, Yang penting bacaan rukun-rukun sholatnya ibu baca," kata Mina terus menyemangati. Raniyah memperhatikan penjelasan Mina dengan serius. "Berarti sebetulnya saya sudah bisa mulai sholat ya?!," sambutnya setengah yakin dengan terheran-heran. Mata Rahniyah nampak berbinar. "Iya, sebetulnya Bu Raniyah sudah bisa mulai sholat," sambung Mina bahagia karena sudah bisa meyakinkan.

"Kalau bacaan sujud dan ruku itu bukan rukun, ibu cukup membaca Subhanallah dulu, sholat ibu tetap sah" kata Mina, "Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, kalau ada huruf yang salah, sangat wajar karena kita bukan orang Arab," sambung Mina menjelaskan. "Bahkan orang Arab yang tidak belajar tajwij pun bisa salah melafalkannya, para sahabat nabi pun hanya segelintir yang fasih dengan benar mengucapkan huruf dhod sesuai yang diucapkan oleh Rasulullah SAW dan malaikat Jibril yang tentunya memang paling sempurna mengucapkannya," lanjut Mina panjang lebar sambil menatap erat-erat wajah perempuan tua itu.

Tampak ekspresi wajah Raniyah berubah. Wajah yang lebih positif dan lebih bersemangat. "Untuk bacaan yang lengkap, Bu Raniyah bisa mengikuti saya, saya akan membaca lebih keras supaya ibu bisa mengikuti," kata Mina sambil memperhatikan perubahan wajah Raniyah.

"Kalau begitu saya mau sholat sekarang," katanya tegas. Sudah bulat kepercayaan diri Raniyah sekarang bahwa sebetulnya ia sudah bisa mulai sholat bahkan sejak sebelumnya seharusnya ia sudah bisa mulai sholat. "Saya mau ambil wudhu, tolong Mina!, Ajari saya wudhu, saya minta diingatkan saja urutan-urutannya!," pintanya dengan penuh keyakinan. Raniyah tampak bangkit bergegas melewati pintu melangkah ke tempat wudhu.

Dari belakang Mina menatap bahu gemuk Raniyah yang bergerak lambat ke kanan dan ke kiri seirama dengan langkah kakinya. Langkah-langkah yang berkesan berat karena menopang besar tubuh tua Raniyah yang sudah sedikit membungkuk. Langkah-langkah yang penuh keimanan.

Mina mengetahui sangat berbeda pendekatan yang harus diambil dalam memberikan pemahaman kepada seorang anak kecil yang masih polos di taman kanak-kanak dibanding dengan memberikan pemahaman kepada remaja, kepada ibu-ibu, dan sore hari ini kepada seseorang yang istimewa yang disayang Allah. Ya, bagi Mina, Raniyah adalah istimewa. Pencapaian yang diperoleh dari pendekatan itu sangat bergantung kepada usia, pengalaman, ilmu, lingkungan dan kondisi psikologis masing-masingnya. Semuanya kemudian akan kembali kepada taqdir Allah.

"Bu Raniyah bisa memulai wudhu dengan Bismillah," kata Mina memberi instruksi sambil memperhatikan Raniyah yang kemudian mulai berwudhu. "Maaf ya ibu, saya betulkan wudhunya, air membasuh hidung sebisa mungkin ibu hirup ke dalam hidung," demikian Mina mengarahkan Raniyah pelan-pelan. "Air membasuh muka, ibu ratakan sampai ke pinggiran wajah dan juga ke arah telinga," lanjut Mina lagi. "Air membasuh tangan diratakan sampai ke siku," terus menerus Mina memberi komando. Raniyah mengikuti komando itu. "Air ke rambut dengan ujung jari diratakan sampai ke kulit kepala dan akar rambut disambung juga untuk membasahi telinga," lanjut Mina. "Membasuh kaki diratakan airnya sampai ke mata kaki," Mina menjelaskan panjang lebar. "Bila tidak demikian wudhunya tidak sah dan harus diulang karena khawatir sholatnya juga tidak diterima," Kata Mina lanjut. Mereka kemudian membaca doa setelah berwudhu.

Raniyah merasa senang sekali akhirnya ia bisa menemukan seseorang yang dapat memperbaiki wudhunya dan akan mengajarkannya sholat. Sejuk mengalir dihatinya. Ia berharap Allah mau mengampuni segala dosa-dosanya. Seperti beberapa dari arti doa wudhu yang baru saja di dengarnya. "Wahai Allah jadikanlah hamba sebagai bagian dari orang-orang yang bertaubat kepadamu, dan jadikanlah hamba sebagai bagian dari orang-orang yang membersihkan diri, dan jadikanlah hamba sebagai bagian dari orang-orang yang sholeh," doa Raniyah dalam hati.

***

"Mina, saya tidak bisa sholat berdiri, kaki saya sudah tidak kuat lagi," Ujar Raniyah jujur. "Kalau begitu ibu bisa sholat sambil duduk di atas kursi," Mina segera mengambilkan kursi. "Sedangkan gerakan ruku dan sujud, ibu bisa menunduk semampu yang ibu bisa," sambut Mina sambil mencontohkan. "Tidak apa-apa saya sholat sambil duduk ?," tanya Raniyah mencoba meyakinkan dirinya, wajahnya agak kecewa karena ternyata ia sudah tidak kuat lagi berdiri untuk sholat yang sempurna. "Tidak apa-apa, diperbolehkan sholat sambil duduk, untuk orang sakit, orang dalam bus, dalam pesawat, dalam kereta yang tidak memungkinkan berdiri," jawab Mina. "Bu Raniyah kan, sudah tua, kaki ibu juga sudah sakit," kata Mina lanjut.

Raniyah kemudian sholat berjamaah bersama Mina. Inilah sholat maghrib pertamanya setelah berpuluh-puluh tahun yang lalu ia tinggalkan. Masjid ini menjadi saksi. Raniyah menangis dalam sholatnya itu. Akhirnya ia bisa sholat kembali mengikuti bacaan Mina yang terdengar jelas di telinganya. Mina menepati janjinya untuk membaca lebih keras semua bacaan sholat dimulai dari Takbiratul Ikram hingga Salam. Mata Raniyah masih berkaca-kaca setelah selesai berdzikir dan berdoa. Harapan Raniyah adalah semoga Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang masih memberikan kesempatan kepadanya bertaubat dan mau mengampuninya.

"Mina, tolong tuliskan bacaan-bacaan sholat itu!, Nanti saya hafalkan jadi saya bisa sholat lagi dirumah," pintanya. "Bu Raniyah juga bisa sholat sambil memegang kertas itu dan membacanya, sementara ibu belum hafal, jadi ibu bisa terus sholat," kata Mina menerangkan.

Mina bersyukur Allah Yang maha Pengasih membukakan hati Salma untuk menelepon Raniyah dan Allah Yang Maha Penyayang juga yang mengirim Raniyah ke masjid Al Falah Berlin, sehingga Mina bisa bertemu dengan Raniyah. Raniyah adalah yang tertua di antara banyak ibu yang belajar mengaji. Sore ini Mina merasa banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan dari mengajarkan seorang Raniyah.

***

Satu setengah tahun berlalu. Raniyah menjadi sangat aktif dan lebih sehat. Bersyukur Raniyah bisa banyak bergaul dengan ibu-ibu muslimah yang lain. Berbagai kegiatan diikutinya. Mengisi waktu-waktu pensiun yang luang. Ia merasa lebih berbahagia dari yang sebelum-sebelumnya.

Rupanya rasa syukur Raniyah mungkin tidak cukup hanya seperti itu. Masih ada ujian keimanan yang ia akan hadapi namun ia belum mengetahuinya. Allah Subhanahuwata'ala masih ingin menguji rasa syukur dan keimanannya itu. Entah apakah ia masih tetap bersyukur dengan tetap menjaga keimanannya atau sebaliknya.

Pertengahan tahun 2009 banyak perusahaan-perusahaan Jerman yang gulung tikar sebagai imbas krisis ekonomi Amerika yang awalnya bermula dari krisis property. Sebagian besar perusahaan juga mem-PHK karyawan karena tidak sanggup lagi membayar gaji mereka. Beberapa perusahaan membuat agen kerja baru untuk menekan pegawai agar tidak bisa menuntut berbagai tunjangan yang merupakan hak pegawai secara resmi menurut aturan pemerintah. Caranya dengan memberhentikan pegawai yang telah ada dan meminta mereka mendaftar baru kepada agen kerja tersebut. Sedangkan agen kerja tidak memberikan tunjangan tambahan selain dari gaji yang diperoleh berdasarkan jam kerja pegawai itu. Harga saham perusahaan banyak yang turun drastis bersamaan dengan ditutupnya cabang-cabang usaha mereka.

***

Raniyah pergi mengambil uang simpanannya di salah satu Bank Swasta di Jerman, seperti yang biasa ia lakukan. Selama puluhan tahun ia mempunyai saham yang memberikan keuntungan yang lumayan untuk menopang kegiatannya.

Ia menggesek kartu ATM nya. Ternyata tidak ada uang yang bisa ia ambil. Konto (rekening) nya kosong sama sekali, tanpa satu surat pemberitahuan pun dari Bank tersebut mengenai kondisi sahamnya. Berdegub jantung Raniyah, ia sangat terkejut dan tiba-tiba panik.

Raniyah segera mengklarifikasi kepada pihak Bank mengenai hal itu. Mereka hanya menjawab bahwa saham Raniyah telah terjual habis karena bila tidak dijual maka harga saham itu akan hilang sama sekali nilainya. Mereka mengatakan bahwa sebelum itu Raniyah pernah menyetujui tindakan penjualan saham itu. Semua uang penjualan sudah dimasukkan ke dalam kontonya dan selama ini sedikit demi sedikit telah ia ambil sampai habis. Sehingga hari ini ia tidak bisa mengambil uangnya kembali.

Raniyah sangat terpukul. Tangannya gemetar mendengar penjelasan itu. Kepalanya terasa berat dan sangat-sangat pening. Darahnya seperti pelan-pelan turun hingga tungkai-tungkai kakinya. Lemas seluruh badan. Bagaimana mungkin ini terjadi?. Ia tidak tahu surat yang mana yang telah memberitahukan hal itu padanya. Seingat ia tidak satupun ada surat yang datang. Ia sudah merencanakan dengan baik segala sesuatu mengenai kondisi keuangan setelah ia pensiun. Tetapi keadaan yang seperti ini sungguh di luar dari kendalinya.

***

Raniyah ingin menceritakan pada Mina. Ia meraih gagang festnet. Dengan perasaan yang gundah gulana, ia menekan nomor telepon Mina. Sayang Mina tidak ada di rumah, tidak ada yang mengangkat. Matanya sudah sembab dan merah. Ia sudah menangis terus semalam ini.

***

Malam itu akhirnya Mina dapat dihubungi oleh Raniyah. Dengan segala kesedihannya ditumpahkan semua kejadian yang menimpanya. Raniyah berbicara dengan terbata-bata, sangat terasa batinnya sedang mengalami guncangan yang hebat. Ia sudah mulai mempertimbangkan untuk pulang saja ke tanah air. Sesungguhnya Raniyah sudah sangat mencintai masjid Al Falah Berlin dan segala aktivitasnya. Demikian juga rasa senangnya dengan lingkungan sosial baru bersama ibu-ibu sesama 'mukimin' atau orang yang menetap di Berlin ini.

Mina mendengarkan semua yang disampaikan Raniyah. Mina yakin Raniyah tidak perlu pulang selamanya ke tanah air. Pasti ada jalan keluarnya. Mina menyampaikan bahwa kejadian ini adalah ujian dari Allah Yang Maha Pemurah kepada Raniyah. Setiap kesulitan pasti disertai dengan kemudahan dibaliknya. Dua kali kalimat itu diulang dalam Al Qur'an. "Fainnama'al 'usri yusroo. Innama'al 'usri yusroo."

Segala kejadian yang terjadi pada seseorang sudah tertulis di Lauhil Mahfudz jauh sebelum langit dan bumi diciptakan. Manusia hanya tinggal berusaha dan terus berusaha mengenai hidupnya. Selebihnya terserah kepada takdir dari Allah Yang Maha Penyayang.

***

Dua bulan kemudian Raniyah pulang ke tanah air.....

***

Dalam perjalanannya duduk di atas Bus, teringat oleh Mina kata-kata Raniyah yang mengiang-ngiang di hatinya. "Saya banyak berdzikir dan sholat, Alhamdulillah ketika kejadian berat itu menimpa. Saya memang sedih tetapi hati saya tenang. Bahkan saya bisa tidur dengan nyenyak. Padahal saat itu saya sedang sangat terpukul," kata Raniyah. "Padahal kalau saya tidak mendapat hidayah dan masih seperti masa-masa lalu, pasti saya seperti orang Jerman yang tidak bisa tidur, tidak tenang dan butuh banyak pil valium hanya untuk bisa tidur bila datang suatu masalah," begitu kata Raniyah dalam memory Mina.

"Betul Bu Raniyah... ibu tidak perlu pil-pil valium seperti orang-orang Jerman yang tidak beragama itu. Ada Allah Yang Maha Penyayang yang selalu siap menolong hamba-hambaNya yang berdoa dan memohon pada Nya," bisik Mina dalam hati.

***

Musim dingin, akhir 2009. Sekali waktu Mina mengevaluasi ibadah ibu-ibu pengajian. Raniyah hadir di hadapan Mina. Mina mendapatkan bahwa Raniyah mengerjakan sholat tahajud setiap malam...
Sholat dhuha setiap hari...
Berdzikir setiap pagi setelah sholat subuh dan sore hari di luar dzikir sholat...
Sholat lima waktu...
Sholat sunnah rawatib hampir semuanya dilakukan...
Membaca Al Qur'an dua lembar setiap hari...
Ia juga merencanakan untuk memulai mencoba berpuasa sunnah...
Raniyah bahkan sudah mendaftarkan diri pada asuransi kematian untuk penguburan Islam...

Raniyah memang pulang ke tanah air, tetapi kepulangan itu tidak untuk selamanya. Ia hanya beberapa waktu mengunjungi sanak famili di daerah kelahirannya. Dalam hatinya Raniyah sudah bulat-bulat menetapkan diri akan kembali ke Berlin. Terutama ke Masjid Al Falah dan komunitasnya.

Wahai Raniyah, Allah Yang Maha Pengasih menyayangimu, fisikmu memang sudah tua tetapi hatimu tidak!!

***

Cerpen karya: Munaya Fauziah, Berlin, 10 Februari 2010, 20:26 CET

Kembali ke awal


Mungkin teman ingin membaca cerpen yang lain silahkan klik:
Terima Kasih Kau Telah Cemburu
Tunggu Saya Di Surga (Wir Sehen Uns Im Himmel)
SEORANG KADET JERMAN DAN SHOLAT

1 comment:

  1. Subhanallah, semangat Bu Raniyah telah membuktikan bahwa hidayah Allah SWT bukan hanya ditunggu, namun juga dicari dan diusahakan. Masih banyak orang seusia Bu Raniyah yang sulit membuka hati untuk mengenal Allah SWT dan menyadari hakikat diri sebagai hamba-Nya. Salut buat Mba Salma dan Mba Mina atas pertolongan mereka untuk membimbing seorang hamba untuk kembali ke jalan Allah Azza Wa Jalla. Kereeeennn ^^

    ReplyDelete