Monday, March 8, 2010

ORKAN

Hannover memang terasa jauh. Anisyah bersiap sejak semalam. Aroma gulai ayam tercium wangi. Telur bulat selesai direbus. Ayam panggang cokelat berkilat. Gurken muda hijau yang rasanya manis, segar dan crunchy siap dikunyah. Semua bahan logistik sudah siap.

Menjelang jam 02.00, mata Anisyah yang masih segar mengamati jam persegi panjang di atas meja. Ia mengambil wudhu dan sholat tahajud dua rakaat-dua rakaat salam sampai sejumlah delapan rakaat dan menambahkan tiga rakaat witir. Allah Subhanahuwata'ala cinta witir. Anisyah berharap Allah cinta padanya oleh karena itulah ia mengerjakan witir.

Selesai sholat Anisyah mengepak semua kelezatan tadi dalam kotak kemasan. Dimasukkan rapi ke dalam plastik. Ia berjaga, khawatir kemasan mengendur terguncang-guncang selama perjalanan nanti. Mendarat manis plastik bungkusan itu di dalam tas hitamnya. Ia punya waktu satu jam untuk mengistirahatkan penat matanya sebelum bangun kembali dan bersiap berangkat.

Jam 4:30, ia kembali bangun dan segera bersiap berangkat. Setidaknya jam 6 ia sudah harus ada di Hauptbahnhoft (Hbf) Berlin karena kereta berangkat sepuluh menit kemudian. Perlu waktu tiga puluh menit untuk jalan kaki yang cukup jauh hingga sampai di halte Turmstrasse. Bus menuju Hbf sepagi ini hanya ada di stasiun-stasiun tertentu.

Di putar gagang pintu Haupt Tür (pintu gerbang) di Gebeüde (Gedung) tempat ia tinggal. Brrr... Alhamdulillah...tidak ada angin kencang di pagi yang gelap ini. Hanya dingin menusuk tulang yang menyambut. Beruntung. Agak lama juga bus itu datang, mungkin ingin memberi jeda setelah berjalan jauh sebelumnya, dan membiarkan Anisyah menunggu untuk menikmati dinginnya pagi. Tetapi ia tidak sendiri ada sekitar lima orang asing lagi yang juga bersamanya menanti bus di halte itu.

***

"Fahren Sie nach Hauptbahnhoft?" tanya Anisyah pada sang supir. Bus N20. Ia tidak biasa naik bus malam dengan kode huruf N. Bertanya untuk memastikan lebih baik. "Ja," jawab sang supir. "Ein mal Einzel, Bitte!" pinta Anisyah sambil menyodorkan uang 2,1 euro. Supir itu memandang Anisyah dan bertanya, "Fahren Sie nur bis Hauptnahnhoft?", "Ja" Jawab Anisyah tegas. "Sie brauchen nur 1,30!" sambung sang supir. Oh beruntung supirnya baik dan beruntung Anisyah bertanya. Jarak ke Hbf hanya butuh Kurzstrecke. Supir itu mengembalikan 80 cent recehan. Lumayan.

Sesuai perhitungan. Kereta Regional Express masih 5 menit lagi baru datang. Hbf pun juga sepi rupanya sepagi ini meskipun kereta ini untuk perjalanan luar kota. Anisyah tidak membeli tiket WET (Wochenende tiket-tiket akhir minggu). Kawannya di beberapa stasiun berikutnya yang janjian bertemu yang sudah membeli tiket. Harganya 37 euro. Untuk perjalanan Sabtu atau Minggu yang berlaku untuk lima orang dalam satu hari perjalanan.

Perjalanan ke Hannover melewati daerah pegunungan disertai dengan pemandangan es yang sebagian putih karena bagian-bagiannya telah mencair di atas dataran padang semacam ilalang yang sejatinya adalah perkebunan Raps Oel yang cantik. Putih diselingi hijau Raps Oel. Tidak bosan-bosannya Anisyah memandangi Karya Sang Maha Pencipta. Sekali-kali keindahan itu ditutupi oleh pohon-pohon yang nampak berlari menjauhi RE yang terus bergerak ke depan.

Perlu dua kali umsteigen dengan tegat waktu yang tipis dengan kereta-kereta yang berikutnya. Bila tidak bergegas perjalanan bisa terhambat berjam-jam karena ketinggalan kereta-kereta itu. Syukurnya semua on time (punklich-tepat waktu). Meskipun beberapa kali harus melewati anak tangga hingga tiga lantai.

Tiba di Hannover sekitar pukul 10:00 CET. Stasiun itu sedang dalam proses renovasi. Silaturahim mengunjungi kawan yang baru melahirkan putranya yang kedua ini berjalan lancar. Hingga tiba waktu pulang. Hujan rintik dan awan mendung memayungi perjalanan pulang ke stasiun Hannover. Pukul 4 kurang lima menit kereta akan berangkat.

Di atas RE yang bergerak maju, Anisyah memandangi pepohonan yang tampak terdorong angin yang kencang. Tak ada suara dari luar. Hanya suara penumpang kereta yang asyik dengan obrolannya masing-masing. "Apakah ada badai sore ini?" Anisyah bertanya dalam hati. Tidak ada yang tahu. Hari ini ia juga tidak melihat berita atau perkiraan cuaca.

Setelah dua kali umsteigen melewati Cottbus dan Magdeburg akhirnya sampai di kota terindah. Berlin. Jam 09:00 malam. Anisyah keluar dari RE. Berjalan ke arah halte TXL agar ia sampai di rumah dengan cepat. Hanya 5 menit dengan TXL dari HBf hingga stasiun Turmstrasse/Beusselstrasse.

Lingkungan HBf Berlin sedang mempercantik diri. Di bagian depan terminal kereta Internasional berlantai empat dan termegah di dunia ini akan dibangun flat-flat mewah dan pusat perbelanjaan. Sehingga lokasi halte-halte bus yang semestinya, berubah tempat untuk sementara.

Angin bertiup dengan sangat keras. Angin nampak seperti marah. Menyapu semua debu dan kerikil jalan naik ke atas bercampur dengan udara. Tidak cukup itu. Papan-papan keterangan terdesak roboh. Karton dan lempengan tajam dihembusnya dengan kuat. Sangat berbahaya. Kerikil-kerikil lancip dari sisa kerikil taburan di permukaan salju yang sudah habis mencair menyapa wajah dan tangan Anisyah. Perih. Sepasang suami istri lainnya terlihat sangat cemas dengan kinderwagen berisi anak-anak khawatir terkena kerikil tajam dan benda terbang lainnya yang bisa melukai.

Badai angin. Akhirnya semua berputar kembali arah. Tidak mungkin menunggu TXL yang halte bus nya berada di pinggir lapangan terbuka di belakang HBf dengan ancaman benda-benda tajam melayang-layang menyerang apapun disekitarnya.

Anisyah berpegang pada tonggak-tonggak pembatas jalan agar dirinya tidak tertiup badai angin itu. Walaupun berat badannya tidak ringan rupanya angin tersebut masih tergolong lebih kuat sehingga mampu menghalau tubuhnya. Sementara itu ia memperhatikan sepasang suami-istri itu terhuyung-huyung menahan desakan angin sambil mendorong kuat-kuat kinderwagen berisi dua anak kecil agar sampai di tempat yang aman dari badai angin.

Perjalanan pulang ini ternyata cukup berat. Bus 123 yang seharusnya tepat waktu datang terlambat. Padahal udara tidak ramah. Bagusnya, halte Bus 123 berada di samping tembok bangunan. Sehingga terhalang dari badai. Setelah menunggu dan menunggu akhirnya bus itu datang dan Anisyah masuk ke dalamnya.

Anisyah mengingat-ingat bahwa ini bukan badai pertama yang dialaminya. Pernah ia menemani kawannya yang berasal dari Aceh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata dalam keadaan badai. Orkan atau badai dengan kecepatan 200 mil/jam. Sesaat dalam sebuah toko souvenir, pelayan toko menginformasikan kepada pengunjung dan mendatanginya satu per satu memberi tahu agar segera pulang karena akan datang orkan atau badai angin. Toko juga akan segera ditutup dan semua pegawai pulang. Namun karena hari ini adalah hari terakhir kawan Anisyah ada di Berlin sebelum pulang ke kota asal dan melanjutkan pulang selamanya ke Indonesia, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap memaksakan diri melanjutkan wisata itu.

Walhasil ia dan kawannya itu melintasi Reichtag (Gedung Parlemen Jerman) yang halamannya adalah sebuah padang rumput yang luas dengan terhuyung-huyung saling dorong-mendorong dengan libasan orkan. Bila badai angin terlalu kuat menepis. Mereka segera merapat ke tembok atau berpegangan dengan tonggak atau apapun yang kuat. Demikian juga dengan rombongan turis-turis asing yang bernasib naas karena jadwal wisata yang bersamaan dengan orkan.

Bedanya, Orkan saat itu terjadi siang hari dengan pemberitahuan dan informasi yang luas. Sedangkan Orkan malam ini seperti tidak diketahui sama sekali. Serba mendadak.

Anisyah juga ingat bahwa ia pernah mengalami perjalanan melewati badai salju yang cukup kencang. Saat itu selesai dari silaturahim di rumah kawan yang pindah ke rumah barunya. Sudah terlihat dari lantai lima rumah kawannya itu angin dengan salju yang pekat bergerak horizontal. Salju deras berterbangan seperti garis datar. Anisyah pulang dengan wajah terus menunduk. Bukan karena sedih. Tetapi untuk menghalangi salju kencang yang menabrak-nabrak pandangan matanya, juga mendera wajahnya.

Bus 123 sampai di stasiun tujuan. Anisyah turun dari bus dan berjalan ke arah rumahnya. Perjalanan yang melewati dua blok panjang. Melalui jalan yang terbuka dan menjadi jalan badai angin itu. Sekali lagi Anisyah harus berjalan dengan sekuat tenaga dan cepat menempuh badai di malam hari tanpa ada seorang pun yang ada disekitarnya. Suasana mendung mencekam yang sangat tidak nyaman. Wajahnya dingin terpukul-pukul angin.

Anisyah memandang jendela-jendela berhias terang sinar lampu di dalam appartement di flat-flat yang menjulang tinggi hingga enam lantai. Ia merasa orang-orang yang di dalam ruangan appartement mereka sedang bercengkrama santai dengan keluarganya. Mungkin sedang menonton salah satu sendung (program televisi) favorit mereka. Tidak menyadari adanya badai kencang di luar apartemennya.

Anisyah sangat cemas. Mungkin agak berlebihan tetapi untuk lebih amannya ia memilih berdoa. "Ya Allah izinkanlah hamba untuk memenuhi sholat magrib dan isya yang belum hamba laksanakan di perjalanan, karena hamba berniat jama' takhir sebelum berangkat pulang," miris perasaan Anisyah saat itu. Ia belum mau mati dalam badai itu karena belum menunaikan sholat.

Alhamdulillah. Anisyah berseru-seru dalam hati. Tiba di depan pintu wohnungnya. Perjalanan yang sangat berat hari ini telah hampir selesai. Ia memasukkan Schlussel (kunci) ke lubang pintu dan memutarnya. Tampak di dalam kamar. Kawannya sedang asyik dihadapan komputernya. Tidak menyadari adanya badai di luar. Anisyah segera menunaikan doa yang disampaikannya tadi. Mengambil wudhu dan segera sholat.

Esok paginya di dapati berita bahwa 51 orang meninggal di Perancis akibat badai. Beberapa korban juga ada di Deutschland. Beberapa rumah yang dilintasi Orkan banyak mengalami kerusakan. Banyak terdapat bescweren (keluhan) dari masyarakat di Jerman karena tidak ada peringatan sebelumnya bahwa akan terjadi badai.

Cerpen oleh Munaya Fauziah, Senin, 8 Maret 2010 pukul 9:37

Mengingat badai angin hari minggu tanggal 28 Februari 2010.



Related Posts:
Terima Kasih Kau Telah Cemburu
Tunggu Saya Di Surga (Wir Sehen Uns Im Himmel)
SEORANG KADET JERMAN DAN SHOLAT


No comments:

Post a Comment