Monday, August 23, 2010

Tanggung Jawab Pendidikan Moral (At Tarbiyah Al Akhlaqiyah)

Bismillahirrohmaanirrohiim

Akhlaq adalah refleksi iman yang kita punya. Beberapa penyimpangan akhlaq yang sering kita dapati pada anak:
  1. Fenomena berdusta
  2. Fenomena mencuri
  3. Fenomena mencaci dan memaki
Penting untuk dipahami bahwa ketiga hal tersebut pada ujungnya adalah usaha anak mencari perhatian orang tuanya.
  1. Fenomena dusta
Anak berdusta karena janji orang tua yang tidak ditepati. Apalagi orang tua sering menggunakan kata “Insya Allah” untuk janji yang sering tidak jadi. Sehingga image pada anak kalau “Insya Allah” bakal tidak jadi! Padahal kata “Insya Allah“ harusnya 99% jadi.

Hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya kejujuran bisa mengarahkan seseorang kepada kebaikan, dan kebaikan mengarahkan seseorang ke surga, dan ia akan dicap oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya dusta mengarahkan seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengarahkan seseorang ke neraka dan ia akan dicap oleh Allah SWT sebagai pendusta.“

Berbohong itu seperti ketagihan atau kecanduan, bila sudah terbiasa maka tidak enak bila dalam satu hari tidak berbohong. Hingga berbohong sampai ke perdagangan, percandaan, dan menjamu tamu. Contohnya seorang pedagang yang sudah terbiasa berbohong, untuk barang yang memang harganya 25 euro dan sudah dibeli dan dibayar seseorang, ia akan mengatakan pada orang itu “Ini rejeki mbak nih, barang ini sebelumnya ditawar orang lain dengan lebih mahal tapi tidak saya lepas, sama mbak saya lepas. Barang bagus mbak.“ Padahal sebelumnya tidak ada orang yang mau. Barang sudah terbayar, untung sudah didapat, tetapi masih berbohong. Terjadi kebohongan karena kebiasaan. Contoh lainnya, bila ada tamu yang datang ke rumah, diintip dahulu, apakah ia bawa proposal atau tidak. Kalau tamunya membawa proposal maka diutuslah anak atau pembantunya supaya bilang, “Nyonya dan tuan sedang keluar kota.“ Kebohongan inilah yang kemudian di tiru anak.

Dusta harus disikapi tegas oleh orang tua. Standar mensikapinya dengan serius mulai umur 7 tahun dengan pemantauan dan 10 tahun dengan konsekwensi tertentu, seperti hadits mengenai perintah sholat. Pada usia yang lebih dini kadang cara berfikir anak masih bercampur antara khayalan dan realita sehingga seperti berbohong padahal ia sedang berlatih bercerita maka pandai-pandailah sebagai orang tua untuk menilai anak-anaknya sendiri.

Saat sholat subuh bangunkan anak, biasakan melatih kejujuran anak dengan sholat. Ada orang tua yang tidak risau anaknya bangun siang tidak sholat subuh, berarti orang tua semacam ini sudah mendukung fenomena anak berbohong kepada Allah SWT.
  1. Fenomena mencuri
Ketidaksengajaan yang menjadi kebiasaan. Anak sekolah terkadang karena ketidaksengajaannya ada pulpen atau pinsil teman yang terbawa di tasnya. Maka orang tua harus mengecek isi tas sekolah anaknya bila ada milik orang lain yang terbawa, anak diminta agar mengembalikan, bila tidak akan menjadi kebiasaan.

Latihan kejujuran di meja makan. Saat makan, biasanya anak memilih yang paling besar. Harus ditegaskan agar anak “menerima apa yang dia dapat”, “menerima apa yang ada dihadapannya.” Bahkan latih anak agar berbagi bila mendapat yang besar. Kalimat-kalimat seperti, "Kakak berinfak ikan kepada adik," atau "Adik sedekah lauk untuk kakak," sebaiknya dibiasakan kepada anak.

Latihan kejujuran tentang uang. Orang tua kalau perlu menguji anak dengan menaruh uang di tempat terbuka, apakah kemudian hilang atau tidak. Kalau ada anak yang mengambilnya tanpa izin, tidak perlu menuduh-nuduh anak, tetapi sebagai contoh, perlu dibuat rekayasa cerita yang didramatisir, bahwa betapa sulitnya kondisi orang tua karena hilangnya uang tersebut karena akan digunakan untuk membayar suatu keperluan tapi uangnya tidak ada. Sampai menyentuh perasaan kasihan dan perasaan bersalah pada anak. Maka dengan sendirinya anak akan bilang dengan jujur, karena ia kasihan pada orang tuanya. Bila anak jujur maka itu peluang orang tua menasehati anaknya lebih lanjut dengan lembut.

Latihan kejujuran tentang lawan jenis. Jadikan kita sebagai tempat “curhat” anak-anak kita. Anak ada yang tertutup dan ada yang terbuka. Jangan sampai anak berbohong tentang lawan jenisnya, karena kedepannya akan lebih sulit menyelesaikannya. Harus segera disikapi. Anak kadang berdalih bahwa itu “masalah pribadi“, tapi orang tua juga harus menanamkan bahwa anak kepada orang tua adalah “satu daging“, jauh lebih pribadi.
Fase capek pada orang tua ada tiga:
1). Saat anak masih kecil, capek mulut. Melarang ini dan menyuruh itu untuk keselamatan anak agar tidak cedera.
2). Saat anak remaja, capek pikiran. Memikirkan mengapa jam segini belum pulang sekolah, selamat atau tidak di jalan, dan seterusnya.
3). Saat anak menikah atau sudah menikah, capek perasaan. Merenung-renung bahwa anaknya akan dibawa atau diambil orang, bahwa bisa tidak anaknya bertanggung jawab atas anak orang, bisa tidak anaknya membawa diri di keluarga besan, dan seterusnya.
  1. Fenomena mencaci
Anak harus minta maaf bila ada kata jelek keluar dari mulutnya ke orang lain, baik ke anak kecil atau ke orang tua. Hadits Rasulullah SAW: “Orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi yang muda bukan bagian dari golongan ku.

Caci mencaci menunjukkan tidak adanya penghormatan. Contohnya, pada guru, karena kurang berambut diberi julukan guru botak. Bila terjadi, harus diarahkan dengan menyentuh perasaan anak. Misalnya, bahwa beliau orang pandai dan kalau dia mau dia bisa menjadi direktur perusahaan dengan gaji besar dan fasilitas yang banyak karena kepandaiannya, tapi dia lebih memilih untuk mendidik anak-anak bangsa supaya lebih maju bangsa ini. Bersambung…



Seri Rangkuman Ceramah Ustadz Muhammad Sholeh Darahim Lc. M.A.

pada Pengajian Ummul Falah, Masjid Al Falah Berlin, September 2009


No comments:

Post a Comment